Jakarta, CNN Indonesia -- Survei terbaru yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) terhadap 516 sopir transportasi online mendapati fenomena order fiktif (opik) bukan semata-mata untuk mendongkrak performa yang berujung pada penambahan insentif. INDEF mencatat ada hal lain yang melatarbelakangi maraknya order fiktif di kalangan sopir
Gojek dan
Grab.
Direktur program INDEF Berly Martawardaya mengatakan aksi curang ini jelas-jelas merugikan sesama pengemudi, karena order fiktif bukan semata-mata untuk mendongkrak performa tapi bisa merusak persaingan. Oknum yang berbuat curang kerap melakukannya di lokasi ramai sehingga bisa mengecoh sopir yang berada di lokasi tersebut.
"Kami di tengah-tengah survei juga mendapatkan info bahwa bukan hanya untuk kepentingan insentif tapi juga untuk rusak persaingan. Misalnya di depan Kalibata City banyak pelanggan, jadi banyak yang pesan fiktif di sana supaya pengemudi malas mangkal di sana. Saingan sedikit jadi oknum ini otomatis bisa mendapat order atau pesanan dari sana," jelas Berly disela diskusi media di kantor INDEF di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (7/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut catatan INDEF, sekitar 81,3 persen sopir terkena imbas mendapatkan order fiktif per minggunya. Jika dirinci sekitar 35 persen dalam waktu satu hingga lima kali per hari, 38,4 persen sebanyak 2-3 kali per minggu, 6,01 persen sekali dalam sepekan, dan 1,94 persen lebih dari lima kali per hari.
Sekitar dua dari tiga sopir Grab dan Gojek disebut mengetahui bahwa ada rekan mereka yang pernah menjadi 'dalang' di balik order fiktif. Sekitar 54 persen responden mengaku mengetahui alasan dibalik tindakan itu tak lain untuk mendongrak performa dan mengejar insentif.
Berly menduga ada ada beberapa responden yang juga pernah melakukan aksi curang ini. Pasalnya, kecil kemungkinan responden blak-blakan mengakui bahwa mereka pernah melakukan order fiktif.
Jika dilihat dari pola penggunaan, sekitar 27,7 persen diantaranya mengatakan ada teman mereka yang memanfaatkannya dua hingga tiga kali dalam sepekan. Sementara 20,35 persen lainnya mengatakan rekannya hanya menggunakan satu hingga tiga kali order fiktif dalam sehari.
"Pola yang seminggu satu hingga tiga itu biasanya untuk menutup jumlah target yang tinggal sedikit lagi. Misalnya target insentif 17, mereka sudah mendapatkan 12 jadi sisanya menggunakan order fiktif untuk menutup itu karena bisa saja karena sudah kemalaman jadi tidak terkejar target," ungkapnya.
Survei mengenai order fiktif transportasi online ini dilakukan pada 16 April-16 Mei di Jakarta, Bogor, Semaran, Bandung, dan Yogyakarta. Metode survei yang digunakan adalah non-probability atau convenient sampling.
(evn)