Pengamat dari Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha mengganggap aturan RUU Kamtansiber bisa menyebabkan disharmonisasi antara BSSN dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kemenkominfo.
Pratama mengatakan RUU yang terdiri dari 77 pasal dan 13 bab ini memiliki beberapa pasal yang akan menyebabkan disharmonisasi antar lembaga pemerintahan.
"Terkait beberapa pasal yang dianggap tumpang tindih dengan kewenangan Kominfo serta Polri, terutama soal konten negatif dan juga hak penyidikan pidana terkait kejahatan siber. Hal ini perlu diperjelas, pasal 45 ayat 1 membuat BSSN nantinya tumpang tindih dengan cybercrime Polri," ucap Pratama ketika dihubungi
CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disharmonisasi wewenang antar lembaga terkait penapisan konten dan aplikasi elektronik berada pada pasal 38. Pasal ini berpotensi menciptakan disharmonisasi antara Kemenkominfo dengan BSSN.
Pasal 38 ayat 1 berbunyi "BSSN melakukan penapisan terhadap konten dan aplikasi elektronik yang mengandung muatan perangkat lunak berbahaya untuk mendukung upaya perlindungan terhadap masyarakat pengguna aplikasi elektronik."
"Pasal 38 RUU KKS juga bertabrakan dengan UU ITE terkait siapa yang menapis konten negatif, sekarang dilakukan oleh Kominfo," ucapnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan merinci pasal tersebut bisa tumpang tindih dengan Pasal 40 ayat (2a) UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Fauzan mengatakan kewenangan untuk melakukan penapisan selama ini ada pada Kemenkominfo.
"Bahkan dalam Naskah Akademik RUU tentang Keamanan dan Ketahanan Siber pada halaman 74 dinyatakan bahwa ketentuan Pasal 40 ayat (2a), (2b), (3), (4) dan (5) UU ITE tidak sesuai dengan RUU Ketahanan dan Keamanan Siber.
Analisis tersebut sangat sulit diterima, karena bagaimana mungkin sebuah RUU dijadikan "alat" uji sebuah UU yang sudah belaku dan diundangkan," kata Fauzan.
Fauzan menjelaskan potensi tumpang tindih tugas antara BSSN dengan Polisi juga ada di Pasal 39 ayat 2 huruf b. Pasal itu berbunyi "pelimpahan hasil investigasi ke pejabat yang berwenang dalam bidang penyidikan tindak pidana,".
"Ketentuan tersebut berpotensi terjadi
overlapping dengan kewenangan Polri sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena pada dasarnya terminologi investigasi sangat sama dengan makna penyelidikan," tulis Fauzan.
Bentrok kewenangan antara BSSN dan Polri juga berada pada pasal 45 ayat 1. Dalam pasal ini, BSSN bisa menganalisis bukti digital, memberikan keterangan ahli di bidang forensik digital dan pemberian dukungan teknis Keamanan dan Ketahan Siber dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.
"Terkait tumpang tindih hak penyidikan pidana terkait kejahatan siber. Hal ini perlu diperjelas, pasal 45 ayat 1 membuat BSSN nantinya tumpang tindih dengan
cyber crime Polri," kata Pratama.
Sementara itu, Fauzan mengatakan kewenangan tersebut sebenarnya selama ini sudah dilaksanakan oleh Polri.
"Sehingga pemberian kewenangan kepada BSSN sebagaimana tersebut dalam Pasal 45 ayat (1) RUU tentang Keamanan dan Ketahanan Siber berpotensi akan terjadi disharmonisasi antar lembaga," kata Fauzan.
Bentrok kewenangan antara BSSN dan TNI terjadi dalam pasal 52 huruf c UU Kamtansiber. Pasal tersebut berbunyi:
"Dalam rangka melaksanakan Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, BSSN melakukan kegiatan: penelaahan terhadap data dan informasi terkait Insiden Siber atau Serangan Siber untuk merumuskan strategi dan taktik terbaik dalam merespon berbagai perkembangan Ancaman Siber yang ditujukan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Bagi Fauzan, pasal 52 huruf C UU Kamtansiber bisa menimbulkan masalah dalam implementasi aturan. Pasalnya aturan bisa tumpang tindih dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, terutama dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi:
"Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.""Dan tentu dalam melaksanakan tugas tersebut TNI akan melakukan analisis atau menelaah bukan hanya berkaitan dengan kekuatan persenjataan, melainkan juga kemungkinan adanya gerakan atau tindakan spionase yang menggunakan perangkat dan kecanggihan teknologi informasi yang dapat mengancam keutuhan dan kedaulatan negara, dan hal tersebut selama ini juga sudah dilakukan oleh TNI." kata Fauzan.
Fauzan juga mengatakan bentrok wewenang antar lembaga juga berada dalam Pasal 44 huruf g RUU Kamtansiber. Dalam pasal tersebut, BSSN akan bentrok dengan BIN. Pasal tersebut berbunyi:
"BSSN memiliki wewenang: melakukan asesmen, pengujian, penetrasi keamanan akses sistem elektronik, dan/atau audit Keamanan dan Ketahanan Siber"
Ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan disharmonisasi hubungan dengan BIN. Ketentuan Pasal 31 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara berisi wewenang BIN untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang mengancam kepentingan nasional.
"Penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi yang dilakukan oleh BIN merupakan tugas atau kewenangan yang akan bersinggungan dengan dunia siber, oleh karena itu kewenangan BSSN dalam RUU tersebut juga berpotensi terjadinya
overlapping dengan tugas dan kewenangan yang telah dimiliki BIN," kata Fauzan.