Jakarta, CNN Indonesia -- Pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan & Ketahanan Siber (
RUU KKS) ke depan diharapkan akan melibatkan korporasi dan akademisi. Hal ini diungkap peneliti
ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Miftah Fadhli ketika berbicara soal pengajuan kembali regulasi itu menjadi prolegnas 2019-2024.
Sebab, menurut Miftah, korporasi atau penyedia platform media sosial merupakan pihak yang berada di garis depan untuk menghadapi serangan siber.Sebelumnya, RUU KKS memang telah batal disahkan pada periode DPR 2014-2019.
"Sangat perlu melibatkan korporasi dan akademisi. Sistem mitigasi yang paling depan itu korporasi, bukan pemerintah. Pemerintah akan tahu, paling di belakang. Penyedia platform itu adalah korporasi dan mereka yang tahu bagaimana cara membuat platform-nya, kata Miftah saat ditemui usai diskusi Indonesia Internet Governance, di Jakarta, Rabu (9/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Miftah mengatakan korporasi memiliki pengetahuan-pengetahuan teknis yang lebih tinggi dibanding pemerintah yang berperan sebagai pembuat kebijakan.
Miftah menjelaskan RUU KKS ini harus bisa fleksibel mengikuti sektor digital yang terus mengalami perubahan. Oleh karena itu, aturan KKS harus menyesuaikan perkembangan teknologi di masa depan agar aturan tetap bisa sesuai dengan perkembangan tersebut.
Perusahaan digital atau korporasi inilah yang menurut Miftah memiliki pengetahuan lebih tinggi dibandingkan pemerintah. Pasalnya perusahaan digital ini terus memperbarui sistem sesuai perkembangan digital.
"Yang mengetahui secara teknis teknologi seperti apa itu korporasi, pemerintah, orang-orang di policy maker itu tidak tahu bagaimana teknologi berkembang. Bagaimana cara menghadapi teknologi yang berubah," kata Miftah.
Di sisi lain, akademisi juga harus bisa mendapatkan saran dan masukan dalam RUU KKS dari sisi teoritis terkait sektor digital.
"Karena untuk memahami teknologi tidak bisa hanya dari praktik saja. Tetapi secara keilmuannya itu seperti apa," katanya.
(jnp/eks)