Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman menyatakan beda perlakuan pengetesan terhadap jenazah Covid-19 di Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
Di New York, Amerika Serikat, pemerintah setempat mengetes tiap jenazah warga yang meninggal yang sebelumnya memiliki gejala Covid-19. Hal ini dilakukan untuk mencapai akurasi data orang yang meninggal akibat terinfeksi virus corona di negara itu.
Tak hanya itu, sejumlah negara berkembang bahkan beralasan tidak mengetes jenazah yang memiliki gejala Covid-19 sebelum meninggal karena keterbatasan anggaran. Banyak negara memilih mamanfaatkan fasilitas pengetesan untuk orang yang masih hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu tidak apa-apa, tidak masalah. Jadi yang dilakukan di Amerika memang dalam kaitan dia memang secara ekonomi juga mampu dan itu untuk memperkuat data dia," ujarnya.
Selain itu, Dicky menuturkan pengetesan terhadap seluruh jenazah yang memiliki gejala Covid-19 sebelum meninggal akan berdampak pada meningkatkan angka kematian. Oleh sebab itu, sejumlah negara memilih tidak melakukan hal tersebut agar jumlah kasus kematian tidak meningkat.
"Kan kalau negara maju umumnya studinya tidak hanya di manusia masih hidup, tapi ada autopsi dan segala macam," ujar Dicky.
Lebih lanjut, ia menuturkan pengetesan kepada jenazah dengan gejala Covid-19 merupakan imbauan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
"Jadi sebetulnya ini sistem pelaporan terbaru WHO. (Pengetesan dilakukan) tidak hanya jenazah yang sudah jelas tadinya dinyatakan positif, tapi juga jenazah yang sebelumnya menunjukkan gejala klinis ke arah Covid-19," ujar Dicky kepada CNNIndonesia.com, Rabu (9/9).
Di sisi lain, Dicky menyebut Indonesia tidak perlu meniru langkah New York untuk mengetes jenazah yang sebelumnya memiliki gejala Covid-19. Dia menyarankan Indonesia lebih dahulu untuk memperkuat pengetesan yang saat ini masih jauh dari saran WHO, yakni 1 tes per 1.000 orang per minggu.
"Kenapa itu harus diprioritaskan? Karena untuk mencegah kematian. Tes yang masif, agresif, dan aktif bermanfaat untuk mendeteksi orang yang memiliki komorbid (penyakit penyerta)," ujarnya.
Dicky menambahkan orang yang memiliki penyakit penyerta akan semain parah jika terinfeki Covid-19. Dari situasi itu, dia menyebut secara otomatis angka kematian di Indonesia akan semakin meningkat.
Lebih dari itu, Dicky berkata angka kematian adalah angka yang valid. Angka kematian, lanjut dia mewakili kondisi sebuah wilayah.
"Oleh karena itu, angka kematian harus sevalid mungkin. Kalau nol kita bisa yakin kita ada di depan virus. Kalau masih ada satu dua kita sama cepat. Kalau angkanya seperti Indonesia, kita ketinggalan beberapa bulan," ujarnya.
Melansir Business Insider, pemerintah New York mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pengetesan Covid-19 pada jenazah orang yang meninggal di rumah sakit atau panti jompo paling lambat dalam waktu 48 jam setelah kematian.
Jenazah yang harus dites akibat dugaan penyakit pernapasan, tetapi selama 14 hari belum dites flu dan virus corona. Kebijakan itu dibuat dalam upaya untuk mengumpulkan data yang lebih akurat tentang kedua penyakit tersebut.
(jps/eks)