Ahli soal RI Buat Vaksin: SDM Tak Setara dengan Negara Maju

CNN Indonesia
Rabu, 16 Sep 2020 14:00 WIB
Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan Indonesia belum bisa disetarakan dengan negara maju dalam kaitannya dengan riset vaksin.
Ilustrasi vaksin. (Foto: AFP/NOEL CELIS)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ahli Pandemi dan Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk memproduksi vaksin dalam beberapa waktu ke depan.

Dicky menilai hanya saja SDM Indonesia masih lemah sehingga tidak memiliki tim riset, tidak seperti negara-negara maju.

Ia menjelaskan jumlah SDM berpengaruh dalam kecepatan pengembangan vaksin. Dalam hal ini membuat bibit vaksin yang kemudian diproduksi di Indonesia masih membutuhkan waktu dan penelitian lebih lanjut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Semakin banyak orang yang memiliki ahli, berpengalaman, kemampuan terkait vaksin, maka semakin kuat tim riset itu. Saya melihat Indonesia belum bisa disetarakan dengan negara maju dalam kaitannya dengan riset vaksin. Punya kemampuan iya, tapi kecepatannya yang beda," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (15/9).

Negara-negara maju memiliki banyak opsi bibit vaksin saat mengembangkan vaksin. Sehingga ketika salah satu gagal, masih ada berbagai opsi lainnya. Hal ini sesungguhnya sudah dilakukan di Indonesia.

Selain bekerja sama dengan Sinovac China untuk memproduksi vaksin di dalam negeri, Indonesia juga turut mengembangkan bibit vaksin Merah Puti. Saat ini ada tujuh platform pengembangan vaksin Merah Putih yang dikembangkan oleh lima institut.

"Kalau negara maju melakukan riset vaksin, dia punya beberapa opsi. Misalnya ada lima opsi, dua gagal, tiga yang akan maju. Jadi semakin banyak SDM bisa diuntungkan dalam tanda kutip perlombaan riset," tutur Dicky.

Oleh karena itu, lebih baik apabila Indonesia melakukan riset kolaborasi dengan negara lain. Selain akan lebih cepat, riset yang dilakukan oleh berbagai negara juga akan lebih mudah pengakuan.

Sebab riset ini dianggap memiliki sampel, ras, dan demografi yang luas. Ia mengatakan bisa saja institut dalam negeri bisa bekerja sama dengan berbagai negara lain.

"Karena vaksin ini di fase III semakin luas sampelnya, semakin bervariasi rasnya, dan semakin bervariasi demografinya. Tentu kolaborasi akan sangat membantu," ujar Dicky.

Dihubungi terpisah, Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo mengaku optimis Indonesia bisa berkolaborasi teknis dengan luar negeri. Kolaborasi riset sudah dianggap lumrah oleh peneliti.

Lebih lanjut, Ahmad menyambut positif Indonesia berniat untuk membuat vaksin sendiri. Hal ini bisa memperkuat ekosistem penelitian hingga hilirisasi untuk kemandirian bangsa dan belajar apabila terjadi kegagalan.

Di sisi lain, Ahmad mengingatkan tantangan finansial akan menghadang usaha Indonesia menciptakan vaksin sendiri.

"Tantangan indonesia adalah pembiayaan karena uji klinis itu tidak murah. Rata-rata perlu biaya Rp1 triliun, itu pun tidak ada jaminan berhasil," kata Ahmad.

Sebelumnya, lima institut di Indonesia saat ini mengembangkan vaksin Merah Putih. Pertama Eijkman yang mengembangkan platform protein rekombinan berbasis sel mamalia dan sel ragi. Kedua adalah Universitas Indonesia yang mengembangkan vaksin DNA, RNA, dan Virus Liked Particle (VLP).

Ketiga adalah Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengembangkan vaksin Adenovirus. Keempat adalah Universitas Airlangga (Unair) yang juga mengembangkan vaksin Adenovirus. Kelima adalah LIPI yang menggunakan platform protein rekombinan.

(jnp/mik)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER