Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai gelombang pertama virus corona (Covid-19) tidak akan berhasil terlewati di tanah air kalau positivity rate yang didapat masih menunjukkan angka yang tinggi.
Positivity rate merupakan jumlah kasus positif dibandingkan dengan jumlah tes atau jumlah berapa orang yang positif dari seluruh orang yang diperiksa. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas persentase positivity rate sebesar 5 persen.
"Indonesia tidak bisa disebut gelombang pertama terlewati kalau positivity rate kita itu masih di atas 5 persen," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (3/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data Satgas Covid-19 teranyar, positivity rate Indonesia pada bulan Juni sebesar 11,71 persen, Juli naik menjadi 13,36 persen, lalu Agustus naik menjadi 16,17 persen, dan September naik menjadi 16,11 persen.
Positivity rate Indonesia mulai menurun pada Oktober dengan jumlah 13,86 persen, dan kembali menurun pada November dengan 13,55 persen.
Dicky melanjutkan, strategi penanganan covid-19 di setiap negara juga sangat berpengaruh terhadap lama tidaknya gelombang covid-19 terlewati.
Negara dapat dikatakan berhasil bila sanggup melandaikan angka kasus covid-19 setelah sempat memuncak. Sementara Indonesia, kata Dicky, sampai saat ini belum diketahui kapan melewati puncak pandemi.
"Kalau negara cepat melalui gelombang satu berarti strategi bagus, karena dia menghantam si kurva lalu kemudian melandaikannya," jelas Dicky.
Dicky pun menyebut bila dilihat secara wilayah, maka DKI Jakarta telah melewati fase puncak pandemi pada September lalu. Namun kasus kembali naik pada November yang disebut-sebut sebagai imbas libur panjang akhir Oktober lalu.
Kemudian, dengan banyaknya jumlah penduduk dan penanganan pandemi yang berbeda setiap daerah, maka menjadikan Indonesia semakin sulit diprediksi kapan akan mengalami puncak pandemi dan melalui gelombang pertama covid-19.
"Puncak itu sulit diprediksi, setelah dua pekan diamati dengan adanya intervensi. Kalau Jakarta sudah pernah mengalami puncak tapi belum selesai gelombangnya," kata dia.
Dicky pun mengingatkan ancaman gelombang-gelombang covid-19 selanjutnya tentu masih ada. Oleh sebab itu, ia meminta Indonesia belajar dari negara lain yang dinilai sudah mampu melewati gelombang pertama, kedua, hingga menjelang ketiga, seperti Korea Selatan, Australia, Jerman, hingga Selandia Baru.
"Tentu ada kalau gelombang dua, hanya saja belum tau kapan itu, karena kita masih 'naik gunung tinggi-tinggi sekali'," pungkasnya.
Dicky lantas mengimbau agar jangan sampai keberhasilan penanganan pandemi membuat pemerintah melonggarkan pembatasan pencegahan virus corona, seperti ditandai dengan dibukanya kembali sektor bisnis dan aktivitas warga secara masif.
Sebab kehidupan 'new normal' bukan tanpa konsekuensi, penerapan protokol kesehatan termasuk mengenakan masker dan menjaga jarak tak serta merta menjadikan Covid-19 hilang.
Selain itu, imbas dari pelonggaran pembatasan, beberapa negara harus menghadapi lagi gelombang baru pandemi yang ditandai dengan ditemukannya sejumlah klaster baru penularan virus corona.
Dihubungi terpisah, Praktisi kesehatan dan peneliti MRI di Singapura Septian Hartono membeberkan beberapa indikator yang menunjukkan bahwa negara sudah dikatakan melampaui gelombang pertama.
Salah satu indikatornya adalah kasus covid-19 menunjukkan sebaran jumlah yang menurun dan kurang dari 50 persen dari puncak tertinggi selama tiga pekan berturut-turut. Septian pun menegaskan penurunan itu terjadi dengan catatan bukan karena jumlah pemeriksannya yang turun.
"Karena itu yang kemarin sempat turun sejenak di akhir bulan Oktober tidak termasuk, karena turunnya tidak signifikan dan lebih dikarenakan jumlah tes yang menurun karena libur panjang. Dan terbukti memang langsung naik lagi ketika jumlah tesnya kembali normal," kata Septian kepada CNNIndonesia.com, Kamis (3/12).
Senada dengan Dicky, Septian pun menyebut DKI Jakarta terpantau telah melewati gelombang pertama usai mengalami kenaikan kasus pada September dan melandai pada Oktober, meski kembali melonjak pada November imbas libur panjang.
"Untuk per daerah sendiri tentunya sudah ada yang gelombang kedua, misalnya Jakarta. Tapi karena faktor mobilitas penduduk antar daerah yang tidak bisa dihindari ya basically virusnya berpindah-pindah saja terus, dan karena itu secara keseluruhan, Indonesia masih di gelombang pertama," pungkasnya.
Sebelumnya, Mesir dilaporkan telah memasuki gelombang kedua Covid-19 baru-baru ini. Menteri Kesehatan dan Populasi Mesir menjelaskan bahwa pemerintah mulai menerapkan beberapa langkah antisipasi untuk meminimalisasi dampak dari second wave tersebut.
Kasus Covid-19 di Mesir mengalami penurunan sejak awal Agustus hingga di bawah angka 200 kasus perhari. Namun pada akhir November, angka kasus mulai mengalami kenaikan hingga di atas 300 kasus perhari.
Sedangkan negara lain seperti Korea Selatan, Australia, Jerman, Hongkong, dan Selandia Baru dilaporkan tengah menghadapi gelombang lanjutan atau gelombang ketiga dari pandemi virus corona ini.