Basran mengatakan penemuan lukisan gua tertua di dunia di Leang Tedongnge sebenarnya merupakan bagian dari program penelitian yang dilakukan oleh Universitas Griffith. Sehingga, dia mengatakan langsung menghubungi koleganya di Australia untuk menindaklanjuti temuannya.
"Jadi saya hubungi mereka yang di Australia karena mereka yang tahu penanggalannya," ujar Basran.
Setahun pasca komunikasi itu, peneliti Universitas Griffith Maxime Aubert dan beberapa peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) datang untuk mengambil sampel dari gambar cadas di Leang Tedongnge.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Basran mengaku sempat pesimis apakah ada sampel dari gambar cadas yang bisa diperiksa. Namun, dia menyebut Aubert yang ahli dalam penanggalan gambar cadas berhasil mendapat sampel meski sangat kecil.
Sampel kemudian dibawa ke Australia untuk diteliti di laboratorium Universitas Queensland. Sampel dibawa ke luar negeri karena Indonesia tidak memiliki teknologi untuk menghitung usia tinggalan sejarah.
Berdasarkan penanggalan seri Uranium, Aubert menyampaikan bahwa gambar babi di Leang Tedongnge berusia minimal 45.500 tahun. Mendengar informasi itu, Basran mengaku tidak terkejut. Sebab, gambar cadas yang ditemukan sebelumnya di Leang Bulu Sipong berusia 43.900 tahun.
"Kan ada dua peneuan sebelumnya Leang Timpuseng sekitar 39.900 tahun dan Leang Bulu Sipong 43.900 tahun. Cuma bedanya di Leang Bulu Sipong adegan berburu. Nah ini (Leang Tedongnge) sedikit lebih tua," ujarnya.
Basran mengaku menemukan hambatan dalam membuat jurnal terkait dengan penemuan gambar cadas di Leang Tedongnge. Dia berkata membutuhkan waktu lama untuk menemukan isu yang cocok.
Namun, dengan berbagai alasan akhirnya memutuskan untuk mengambil isu tentang seni gua tertua di Sulawesi yang diterbitkan di Science Advance.