Nanda berkata semakin kuat dorongan massa udara dari utara (Asia) menuju ekuator maka semakin kuat pula pola konvergensi dan belokan angin yang akan terbentuk. Umumnya, kata dia pada daerah tersebut potensi pembentukan awan akan sangat signifikan.
"Kemudian yang perlu diingat bahwa saat ini fenomena La Nina masih berlangsung sehingga suplai uap air dari Samudera Pasifik bagian timur menuju wilayah Indonesia masih cukup kuat," ujarnya.
Nanda mengatakan semakin banyak jumlah uap air di atmosfer akan meningkatkan potensi pembentukan awan hujan. Sementara itu, di perairan utara Australia dalam beberapa hari terakhir terbentuk daerah perputaran angin akibat adanya daerah tekanan udara yang sangat rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberadaan daerah tekanan udara yang sangat rendah itu, kata Nanda menyebabkan suplai massa udara dari utara semakin kuat.
Pengaruh lain adalah kondisi atmosfer skala lokal yang cukup mendukung dalam pembentukan awan hujan.
"Dari mulai kondisi atmosfer yang cukup labil sehingga uap air hasil penguapan dengan sangat mudah akan terangkat dan akhirnya membentuk awan, kecepatan angin di lapisan bawah yang relatif pelan, dan kelembaban atmosfer di Jabodetabek yang sangat tinggi sehingga uap air dengan sangat mudah terkondensasi membentuk awan hujan," ujarnya.
Lebih dari itu, Nanda mengaku banjir di Jakarta tidak bisa dikaji hanya berdasar aspek hujan saja. Sebab, banjir merupakan dampak dari fenomena cuaca (hujan) dan bukan merupakan bagian dari dinamika cuaca.
Faktor pemicunya, kata dia bisa berbagai hal yang utamanya adalah terkait terhambatnya daerah aliran pembuangan air yang berlebih atau ketidakmampuan lingkungan dalam menyerap air di permukaan bumi.
"Jika kita membahas banjir di Jakarta dari segi hujan maka perlu dilihat sebaran hujan di Jabodetabek. Umumnya jika hujan dengan durasi panjang dan intensitas tinggi terjadi di wilayah Kabupaten atau Kota Bogor dan Jakarta maka potensi banjir akan sangat besar," ujar Nanda.
(jps/eks)