Serangan ransomware tersebut sempat menjadi berita utama dan muncul di Virus Bulletin, sebuah majalah keamanan untuk para profesional sebulan kemudian.
"Meskipun konsepsinya cerdik dan sangat licik, program itu sebenarnya cukup tidak rapi," kata analisis dalam majalah itu tersebut. Namun, itu adalah pemerasan digital pertama. Tidak jelas apakah ada orang atau organisasi yang membayar tebusan.
Hasil penyelidikan disket tersebut dikirim ke alamat-alamat di seluruh dunia. Penegak hukum pun menelusuri alamat yang meminta tebusan dan menemukan seorang ahli biologi lulusan Harvard bernama Joseph Popp, yang sedang melakukan penelitian AIDS pada saat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia ditangkap dan didakwa dengan berbagai tuduhan pemerasan, dan secara luas dikreditkan sebagai penemu ransomware, menurut situs berita keamanan CSOnline.com.
"Bahkan sampai hari ini, tidak ada yang benar-benar tahu mengapa dia melakukan ini," kata Willems.
Willems menduga ada porang yang terlibat selain Popp. Pasalnya, dia meyebut butuh uang dalam jumlah besar untuk mengirim disket beirisi ransomware itu.
Di sisi lain, beberapa laporan menunjukkan Popp telah ditolak oleh WHO untuk mendapatkan kesempatan kerja. Setelah penangkapannya di Bandara Schiphol Amsterdam, Popp dikirim kembali ke Amerika Serikat dan dipenjarakan.
Dia diduga memberi tahu pihak berwenang bahwa dia berencana menyumbangkan uang tebusan untuk penelitian AIDS.
Departemen Kehakiman AS baru-baru ini mengatakan tahun 2020 adalah tahun terburuk untuk serangan ransomware. Pakar keamanan yakin serangan ransomware terhadap perusahaan dan individu akan terus berkembang karena mudah dieksekusi, sulit dilacak, dan korban dapat dieksploitasi dengan uang yang banyak.