Jakarta, CNN Indonesia --
Kebebasan berpendapat di dunia maya kini disebut kian terdegradasi, terlebih dilaporkan banyak negara yang menekan layanan media sosial untuk melakukan penyensoran konten yang dianggap kritis.
Belakangan, perusahaan media sosial Twitter blak-blakan kepada Reuters bahwa kini pemerintah di beberapa negara sering meminta untuk menghapus atau take down konten berita jurnalis dan media massa yang dinilai kritis dan berbahaya.
Pihak Twitter juga membeberkan bahwa adanya tren lonjakan permintaan dari pemerintah atau negara di penjuru dunia sepanjang tahun 2020. Twitter mengaku secara keseluruhan sudah menerima 38.500 tuntutan hukum untuk menghapus berbagai konten.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan mengatakan kiat pemerintah dalam aksi pembatasan konten di media sosial, merupakan pertanda bahwa pengawasan terhadap produksi dan distribusi konten di jagat maya telah berlangsung.
"Ini pertanda bahwa pengawasan terhadap produksi dan distribusi konten melalui platform telah berlangsung," ujar Firman kepada CNNIndonesia.com.
Lebih lanjut ia menjelaskan literasi digital yang selama ini gencar dijalankan hasilnya tak seimbang dengan harapan, sehingga manajemen pengawasan dijalankan.
Namun demikian Firman menilai pembatasan konten di media digital tidak selalu baik atau buruk bagi kebebasan berpendapat.
Sebagai ilustrasi ketika masyarakat India bebas memproduksi dan mendistribusi konten tentang ciri penculik anak tanpa verifikasi yang valid, yang terjadi adalah perburuan dan pengadilan jalanan pada orang-orang dengan ciri yang disebutkan.
Akibatnya banyak orang tak bersalah ditangkap, disiksa bahkan dibunuh akibat memiliki ciri-ciri yang disebutkan dalam konten itu. Pada situasi ini, menurut Firman negara harus bertindak cepat untuk menurunkan konten seperti itu.
"Apakah membiarkan kebebasan berpendapat di platform digital perlu dibela? Negara harus bertindak cepat menurunkan konten semacam itu." ujar Firman.
Sebaliknya ia berkisah soal sekelompok masyarakat Jerman yang melakukan aksi protes di media sosial, lantaran adanya karantina wilayah atau lockdown. Ketika konten itu dihapus pemerintah tentu hal itu dianggap menutup kesempatan berdialog antar pemerintah dan negara.
"Pelarangan dan penurunan konten karena tak sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam konteks ini buruk bagi kebebasan berpendapat," ujarnya.
Firman mengatakan sudah seharusnya negara melakukan pengawasan demi kepentingan negara. Tidak membiarkan mekanisme tanpa pengawasan dan pengadilan atas nama kebebasan berpendapat warga negara.
Dihubungi terpisah Direktur Eksekutif, Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan saat ini di Indonesia tidak ada klausul jelas terkait penanganan konten di internet.
Ia menjelaskan di dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) pasal 40 ayat 2 dikatakan hanya memberikan wewenang kepada pemerintah untuk membatasi konten yang melanggar peraturan undang-undang, kemudian prosedurnya ke dalam Permenkominfo nomor 5 tahun 2020.
Namun demikian di Indonesia tidak ada kejelasan tentang jenis konten apa saja yang bisa dibatasi atau yang bisa dimoderasi. Seharusnya, kata dia, proses itu diatur dalam undang-undang tetapi UU tidak mengaturnya sehingga diatur dalam Permen Kominfo yang disebutnya problematis.
"Seharusnya prosesnya diatur dalam undang-undang, tetapi undang-undang tidak mengaturnya sehingga kemudian diatur di Peraturan Menteri Kominfo, yang ini juga problematis," ujar Wahyudi kepada CNNIndonesia.com.
Padahal, ujar Wahyudi, aturan kejelasan konten merupakan bagian dari pembatasan terhadap hak asasi manusia, pembatasan terhadap berpendapat dan berekspresi yang seharusnya diatur pada level undang-undang.
Lebih lanjut ia menjelaskan jika mengacu pada mekanisme saat ini, pemerintah memiliki mekanisme yang disebut transpositif, yakni untuk memoderasi konten yang dianggap negatif berdasarkan dua hal.
Pertama; berdasarkan aduan dari pengguna, kedua; mereka melakukan crawling berdasarkan kata kunci yang kemudian diverifikasi secara manual.
Hasil dari kedua identifikasi itu akan menyebarkan semacam edaran kepada platform untuk menurunkan sebuah konten yang dianggap mengandung unsur negatif.
Meski begitu ia mendorong pemerintah untuk melakukan revisi UU ITE agar lebih baik, lebih demokratis dan mengikuti prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia. Sehingga pemerintah tidak secara mudah bisa meminta platform untuk menurunkan konten tertentu, tanpa adanya prosedur yang memenuhi standar.
Dalam menghapus atau menurunkan sebuah konten, Wahyudi menilai pemerintah kerap tidak memberikan alasan jelas. Seharusnya pemerintah memberikan alasan dalam bentuk keputusan resmi. Hal itu disebutnya agar dapat melakukan proses banding jika pembuat konten tidak menerima putusan tersebut.
"Ketika menurunkan satu konten kan harusnya disertai alasan. Nah di Indonesia sendiri keputusan untuk menurunkan atau memblokir konten tidak pernah kita temukan [alasan jelas]. Mestinya di situ dijelaskan, [karena] keputusan ini bisa digunakan sebagai bukti untuk proses banding" ujarnya.
Ia mengatakan misalnya terjadi dugaan overbloking oleh salah satu kreator yang kontennya dihapus. Maka kreator tersebut dapat mengajukan banding ke pengadilan dengan bukti tersebut.
Bisa Tiru Notifikasi Teguran Konten Australia
Lebih lanjut ia merujuk pada mekanisme yang digunakan oleh lembaga independen di Australia, yang menerima aduan konten dari pengguna yakni lewat Australian Communications and Media Authority (ACMA).
Lewat lembaga itu, kata dia, pembuat konten diberikan notifikasi jika dianggap berbahaya. Tidak langsung melakukan take down, pembuat konten diberikan kesempatan untuk memperbaiki. Namun jika ternyata tidak diperbaiki maka konten itu akan dihapus atau difilter.
Namun demikian lembaga itu juga menyediakan mekanisme banding ke pengadilan, sehingga prinsip judicial scrubs juga berlaku dalam konteks penghapusan konten di internet.
"Di Indonesia itukan mekanisme ini belum tersedia. Di Indonesia tidak disediakan mekanisme banding dengan jelas, baik [lewat] UU ITE maupun Permenkominfo tidak menyediakan kejelasan mekanisme banding," ujarnya.
Terbaru, akun Instagram BEM Unnes tiba-tiba hilang usai mengkritik Wakil Presiden Ma'ruf Amin dengan sebutan "King of Silence", lantaran menilainya lebih banyak diam dan tak memainkan peran signifikan.
BEM Unnes juga menyindir Ketua DPR Puan Maharani "Queen of Ghosting", lantaran dinilai kerap mengesahkan perundangan yang tak berpihak pada masyarakat.