Namun demikian di Indonesia tidak ada kejelasan tentang jenis konten apa saja yang bisa dibatasi atau yang bisa dimoderasi. Seharusnya, kata dia, proses itu diatur dalam undang-undang tetapi UU tidak mengaturnya sehingga diatur dalam Permen Kominfo yang disebutnya problematis.
"Seharusnya prosesnya diatur dalam undang-undang, tetapi undang-undang tidak mengaturnya sehingga kemudian diatur di Peraturan Menteri Kominfo, yang ini juga problematis," ujar Wahyudi kepada CNNIndonesia.com.
Padahal, ujar Wahyudi, aturan kejelasan konten merupakan bagian dari pembatasan terhadap hak asasi manusia, pembatasan terhadap berpendapat dan berekspresi yang seharusnya diatur pada level undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut ia menjelaskan jika mengacu pada mekanisme saat ini, pemerintah memiliki mekanisme yang disebut transpositif, yakni untuk memoderasi konten yang dianggap negatif berdasarkan dua hal.
Pertama; berdasarkan aduan dari pengguna, kedua; mereka melakukan crawling berdasarkan kata kunci yang kemudian diverifikasi secara manual.
Hasil dari kedua identifikasi itu akan menyebarkan semacam edaran kepada platform untuk menurunkan sebuah konten yang dianggap mengandung unsur negatif.
Meski begitu ia mendorong pemerintah untuk melakukan revisi UU ITE agar lebih baik, lebih demokratis dan mengikuti prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia. Sehingga pemerintah tidak secara mudah bisa meminta platform untuk menurunkan konten tertentu, tanpa adanya prosedur yang memenuhi standar.
Dalam menghapus atau menurunkan sebuah konten, Wahyudi menilai pemerintah kerap tidak memberikan alasan jelas. Seharusnya pemerintah memberikan alasan dalam bentuk keputusan resmi. Hal itu disebutnya agar dapat melakukan proses banding jika pembuat konten tidak menerima putusan tersebut.
"Ketika menurunkan satu konten kan harusnya disertai alasan. Nah di Indonesia sendiri keputusan untuk menurunkan atau memblokir konten tidak pernah kita temukan [alasan jelas]. Mestinya di situ dijelaskan, [karena] keputusan ini bisa digunakan sebagai bukti untuk proses banding" ujarnya.
Ia mengatakan misalnya terjadi dugaan overbloking oleh salah satu kreator yang kontennya dihapus. Maka kreator tersebut dapat mengajukan banding ke pengadilan dengan bukti tersebut.
Lebih lanjut ia merujuk pada mekanisme yang digunakan oleh lembaga independen di Australia, yang menerima aduan konten dari pengguna yakni lewat Australian Communications and Media Authority (ACMA).
Lewat lembaga itu, kata dia, pembuat konten diberikan notifikasi jika dianggap berbahaya. Tidak langsung melakukan take down, pembuat konten diberikan kesempatan untuk memperbaiki. Namun jika ternyata tidak diperbaiki maka konten itu akan dihapus atau difilter.
Namun demikian lembaga itu juga menyediakan mekanisme banding ke pengadilan, sehingga prinsip judicial scrubs juga berlaku dalam konteks penghapusan konten di internet.
"Di Indonesia itukan mekanisme ini belum tersedia. Di Indonesia tidak disediakan mekanisme banding dengan jelas, baik [lewat] UU ITE maupun Permenkominfo tidak menyediakan kejelasan mekanisme banding," ujarnya.
Terbaru, akun Instagram BEM Unnes tiba-tiba hilang usai mengkritik Wakil Presiden Ma'ruf Amin dengan sebutan "King of Silence", lantaran menilainya lebih banyak diam dan tak memainkan peran signifikan.
BEM Unnes juga menyindir Ketua DPR Puan Maharani "Queen of Ghosting", lantaran dinilai kerap mengesahkan perundangan yang tak berpihak pada masyarakat.