Gelombang Covid-19 ketiga diramalkan terjadi di Indonesia penghujung tahun 2021 hingga awal 2022. Pemerintah maupun masyarakat diminta untuk jangan terlena dan tetap waspada.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Hermawan Saputra menjelaskan belajar dari pengalaman tahun lalu, jelang Natal dan pergantian tahun (Nataru) baru aktivitas publik luar biasa terbuka.
Kenyataannya, lonjakan terjadi di akhir 2020 lalu di mana Januari 2021 menjadi puncak dari kasus luar biasa gelombang kedua Covid-19 di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Menurut Hermawan, keterbukaan dari kebijakan maupun aktivitas masyarakat membawa dampak bagi sektor pariwisata, perkantoran, kegiatan agama sampai layanan publik yang terlihat ramai.
Begitu juga terlihat pada kapasitas angkutan darat, laut dan udara yang disebut full capacity.
"Itu berarti menandakan ada pengabaian terhadap protokol kesehatan terutama jaga jarak. Otomatis hanya protokol yang digunakan hanya menggunakan masker. Konsekuensi pelanggaran ini ditengarai keramaian kasus Nataru," kata Hermawan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/11).
Di sisi lain, laju vaksinasi dengan cakupan yang tinggi meskipun secara perlahan terlihat. Walaupun tidak sesuai target dari pemerintah yakni minimal 70 persen untuk dosis kedua sampai akhir tahun ini.
Hermawan yang juga merupakan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebut masyarakat Indonesia, khususnya lansia dan mereka yang punya kormobid atau penyakit bawaan sangat rentan terpapar Covid-19.
Jika paparan banyak kepada lansia, akan terjadi pemberatan kasus.
"Ini yang harus diwanti-wanti pemerintah dan masyarakat berdasarkan pembelajaran dari tahun lalu," imbuhnya.
Lanjut Hermawan, di Singapura dan China dalam sepekan terakhir telah terjadi keknaikan kasus Covid-19 yang signifikan. Padahal, keduanya dikenal sebagai negara yang cakupan vaksinnya besar dengan protokol kesehatan yang tinggi.
Hanya saja, peningkatan kasus terjadi akibat dampak pelonggaran keramaian di aktivitas publik.
Kuncinya disebut Hermawan ada tiga poin, yakni mengejar cakupan vaksinasi pada usia lanjut dan orang yang berisiko kormobid karena dapat menimbulkan kasus tinggi pada kematian serta tracing dan testing sebagai mitigasi untuk mencegah risiko berat.
"Pertama, harusnya kita bisa antisipasi ini lebih baik. Ada euforia vaksinasi, PPKM Level 1 dan kelonggaran kebijakan. Pemerintah juga harus melakukan tracing dan testing dengan kapasitas optimal."
"Kedua, yang saya khawatirkan kasus yang akan terjadi tidak naik secara pelan-pelan, tetap secara sporadis dan itu bisa terjadi karena dari dua hal; varian baru yang muncul, seperti di India pada Mei dan meledak di Juni-Juli lalu."
Terkait prediksi waktu gelombang ketiga bakal terjadi, Hermawan mengatakan jika tidak ada kejadian luar biasa, kondisinya akan mudah untuk dikendalikan seperti pada Janauri 2021 sebagai dampak Nataru.
Tapi, jika kasus varian baru yang berpotensi kapanpun dan di manapun akibat konsekuensi kerumunan dan keramaian, ia memastikan bakal muncul kasus baru secara sporadis.
"Untuk itu, pemerintah jangan sampai terlena. Semua area publik dibuka, tidak menjaga jarak, ini berisiko. Jangan longgar protokol kesehatan, jaga jarak volume kantor, transportasi menjaga dari kebijakan pemerintah yang harus diatur. Lalu tracing dan testing."
"Masyarakat juga jangan terlena karena konsekuensinya bisa memburuk. Jadi tetap waspada. WHO masih menjadikan Covid-19 ini sebagai pandemi," pintanya.