Jakarta, CNN Indonesia --
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru saja menerapkan Penerapan Sektor Berskala Besar (PSBB) Jilid II pada 14 September lalu. PSBB ini untuk menekan angka kasus Covid-19 yang terus menanjak dan belum da tanda-tanda penurunan di Jakarta.
Sampai hari (18/9), total jumlah kasus Covid-19 mencapai 236.519 kasus. Dari jumlah itu 170.774 dinyatakan sembuh dan 9.336 meninggal dunia. Jumlah kasus harian pada 18 September ini mencapai 3.891 kasus positif. Sementara rekor tambahan harian tertinggi terjadi pada 16 September sebanyak 3.963.
Tak hanya itu, hingga Kamis (17/9) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat 117 dokter meninggal akibat Covid-19. Kematian tenaga kesehatan disebut IDI bisa mempengaruhi kualitas layanan kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Ketua Tim Mitigasi PB IDI, Adib mengatakan Indonesia belum mencapai puncak pandemi Covid-19 gelombang pertama. Menurutnya, Indonesia akan menjadi episentrum Covid-19 dunia jika tak ada perubahan.
Apabila benar ini terjadi, maka Indonesia akan menjadi episentrum setelah sekitar enam bulan mengalami pandemi Covid-19. Ahli Epidemiologi Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan setuju dengan kekhawatiran Indonesia bisa menjadi episentrum Covid-19.
Peningkatan jumlah kasus sesungguhnya tak melulu menjadi kabar buruk selama tak diiringi dengan peningkatan jumlah kematian, dan peningkatan beban di fasilitas kesehatan yang membuat faskes bisa tak mampu lagi menampung pasien Covid-19.
Sayangnya di Indonesia peningkatan kasus diiringi dengan angka kematian tinggi dan peningkatan beban kapasitas fasilitas kesehatan.
"Kalau ini dibiarkan memang Indonesia akan jadi episentrum. Saya setuju kekhawatiran Indonesia bisa jadi episentrum," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (18/9).
Dicky mengungkapkan peningkatan kasus Covid-19 tak selalu kabar karena bisa menandakan bahwa pemerintah mampu mendeteksi pasien Covid-19 sehingga meningkatkan peluang untuk mengendalikan Covid-19.
Kasus Covid-19 bisa jadi kabar baik apabila tak diiringi dengan peningkatan jumlah kematian dan beban faskes.
"Pengendalian kita itu kan tergantung berdasarkan kemampuan mendeteksi orang itu, mencegah orang membawa virus," kata Dicky.
Oleh karena itu, Dicky mengatakan PSBB menjadi intervensi yang mampu menolong pemerintah untuk meningkatkan kecepatan pengendalian Covid-19 yang balapan dengan penularan Covid-19.
"Sehingga perlu strategi tambahan seperti PSBB total, untuk menyamakan kecepatan kita sehingga tidak lagi banyak kematian dan tidak membebankan RS," tutur Dicky.
Dicky mengakui tingginya angka kematian dokter akan meningkatkan beban terhadap layanan kesehatan. Ketersediaan tenaga kesehatan bisa tak mencukupi beban yang terus meningkat. Ujungnya angka kematian akan terus meningkat.
"Di mana angka kematian bisa tambah tinggi. Angka penyakit tenaga kesehatan juga memengaruhi beban layanan kesehatan. Sebab kalau dokter sakit, dia tidak boleh melayani pasien," kata Dicky.
Potensi Indonesia menjadi episentrum kasus Covid-19 sesungguhnya telah disinggung sejak jumlah kasus positif di Indonesia telah menyalip China pada pertengahan Juli lalu.
Dicky saat itu mengatakan pemerintah harus mewaspadai hal tersebut, sebab Indonesia berpotensi menjadi episentrum Covid-19 di Asia.
"Dengan eskalasi pertambahan eksponensial yang akan menyentuh 100 ribu, dan kapasitas testing dan tracing di berbagai daerah yang belum meningkat, maka potensi kita jadi episentrum baru di Asia bisa terjadi," kata Dicky
Pernyataan dari Dicky tersebut dikarenakan jumlah tes di Indonesia masih terlampau sangat jauh dibandingkan China. Sehingga ia mengatakan masih banyak kasus positif Covid-19 yang belum terdeteksi.
"Yang harus jadi perhatian dan waspada adalah perbedaan yang sangat jauh dalam kapasitas testing tracing kita dan China.
Dengan jumlah kasus yang hampir sama, kita baru melakukan tes pada orang sekitar 700 ribu. Sedangkan China hampir 90 juta," kata Dicky.
Dicky juga mengungkap angka positive rate di atas 10 persen. Hal ini semakin meyakinkan Dicky bahwa masih banyak kasus Covid-19 yang belum terdeteksi. Positive rate adalah jumlah tes positive dibagi jumlah total test.
"Idealnya positive rate ada di rentang 3 persen sampai 5 persen," kata Dicky.
Lebih lanjut, Dicky menyarankan agar pemerintah meningkatkan uji tes menjadi 100 ribu per hari. Hal ini dilakukan pemerintah bisa mempercepat pendeteksian Covid-19 dan langsung melakukan penanganan dengan cepat.
"Kita harus mengejar ketertinggalan Kita dari virus SARS-CoV-2," kata Dicky.
Dicky mengingatkan Indonesia sempat menjadi episentrum pandemi Flu Burung (H5N1). Ia mengatakan Covid-19 berbeda dengan Flu Burung karena sulit terdeteksi. Oleh karena itu ia terus mengingatkan agar test dan tracing terus ditingkatkan oleh pemerintah.
Di sisi lain, proyeksi machine learning di situs Covid-19 Projections menujukan kurva kasus Covid-19 yang terus menanjak. Bahkan Chief of Infectious Diseases di University of Maryland Upper Chesapeake Health, Faheem Younus juga mencuitkan soal buruknya proyeksi kasus Covid-19 di Indonesia.
Machine learning memprediksi akan ada kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 359,205 pada 1 November 2020.
Berdasarkan prediksi itu, Younus mencuitkan hasil proyeksi kasus Covid-19 di Indonesia melalui akun Twitternya @FaheemYounus. Dalam cuitannya ia menyarankan agar pemerintah melakukan tes, tracing dan isolasi sebelum terlambat.
Menanggapi hal ini, Ahli Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Laura Navika mengatakan machine learning itu bergantung pada kualitas data yang dikumpulkan. Semakin akurat data yang dikumpulkan, maka semakin akurat pula prediksi oleh machine learning.
Ketika ditanya soal potensi Indonesia menjadi episentrum Covid-19 baru di Asia, Laura mengatakan masih ada India dengan angka positif Covid-19 mencapai 2.153.010.
Akan tetapi ia mengatakan Indonesia perlu waspada terkait jumlah kasus yang terdeteksi di Indonesia. Sebab Laura mengatakan masih ada keterbatasan pengujian di lapangan yang membuat angka tidak akurat dengan angka yang sesungguhnya.
"Tetapi memang yang perlu diwaspadai bahwa apakah jumlah data di Indonesia sekarang sudah menunjukkan data yang sesuai apakah tidak ada keterbatasan pemeriksaan yang membuat datanya menjadi tidak real yang ada di lapangan," kata Laura.
Berbagai kebijakan telah diambil Indonesia untuk menangkal Covid-19, mulai dari pembentukan Gugus Tugas yang saat ini berubah nama menjadi Satuan Tugas hingga penerapan PSBB.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi meminta Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk menurunkan kasus Covid-19 di sembilan provinsi dalam waktu 2 minggu.
Laura menyebut permintaan Presiden Joko Widodo tak realistis.
Alasannya, respons negatif para menteri Jokowi terhadap rencana Pembatasan Sektor Berskala Besar (PSBB) yang kembali ditegakkan di DKI Jakarta membuat permintaan dua minggu sulit untuk dilakukan.
Selain respons yang tak sinkron terhadap kebijakan PSBB, pemimpin daerah lain juga malah mendorong versi pelonggaran PSBB. Padahal PSBB sendiri adalah versi pelonggaran dari lockdown.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyarankan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan agar berhati-hati mengumumkan hal-hal yang berkaitan dengan PSBB secara ketat. Menurutnya ada dampak terhadap bursa saham.
Oleh karena itu, Ridwan Kamil lebih memilih untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) wilayah di Jabar. Langkah ini dinilai efektif menekan laju penularan Covid-19.
Hal itu pun diamini oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebut dalang rontoknya IHSG adalah pengumuman Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal keputusannya untuk menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total di ibu kota.
Airlangga bahkan meminta jam kerja fleksibel kala PSBB di Jakarta. Jokowi sendiri menilai PSBM atau komunitas lebih efektif diterapkan untuk disiplin protokol kesehatan.
Kota penyangga Jakarta, Bogor menolak penerapan PSBB. Wali Kota Bogor, Bima Arya mengatakan PSBB akan sia-sia jika diimbangi dengan sumber daya dan sistem keamanan yang memadai. Sumber daya yang dimaksud adalah bantuan sosial kepada warga yang bakal terdampak PSBB.
Dicky mengingatkan, respons awal yang cepat dan tepat terhadap Covid-19 menjadi langkah paling krusial untuk menekan penularan pandemi.
Studi yang dilakukan baik saat pandemi Covid-19 maupun sebelum pandemi lainnya menunjukkan respons awal dari pemerintah pusat maupun daerah sangat menentukan keberhasilan pengendalian Covid-19.
Dicky mengatakan pemerintah China melakukan respons yang cepat untuk melakukan lockdown di Wuhan tanpa melihat apakah Wuhan tersebut merupakan pusat ekonomi atau tidak. Diikuti dengan langkah 3T masif (testing, tracing, treatment) dan isolasi serta protokol kesehatan.
"Respons awal ini tak terlepas dari contoh di Wuhan tidak tergantung bahwa itu ibu kota atau tidak. Tapi langkah ini dilakukan di mana pun wilayah di negara tersebut yang menjadi sumber pandemi atau klaster pandemi. Respons cepat itu untuk mencegah penyebaran yang lebih masif," kata Dicky.
Dicky menjelaskan sayangnya di beberapa negara termasuk AS dan Indonesia ada penyangkalan terhadap Covid-19, sehingga memperlambat strategi pengendalian Covid-19. Sejak awal terdeteksi Covid-19 di Indonesia pada awal Maret, pemerintah tak langsung mengambil langkah cepat.
Pemerintah malah sempat menyangkal Covid-19 dengan mengatakan masyarakat Indonesia kebal Covid-19.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahkan menantang Universitas Harvard untuk membuktikan langsung hasil riset yang memprediksi virus corona semestinya sudah masuk ke Indonesia.
Terawan menegaskan hingga saat ini belum ada kasus virus corona karena Indonesia telah memiliki alat untuk mendeteksi virus asal China tersebut.
"Ya Harvard suruh ke sini. Saya suruh buka pintunya untuk melihat. Tidak ada barang yang ditutupi," ujar Terawan. Menurutnya, kondisi itu tak lepas dari doa yang terus dipanjatkan.
"Perkara Indonesia itu tidak ada (virus corona) ya berkat Yang Maha Kuasa, karena doa kita semua. Kita tidak mengharapkan itu ada. Dan kita terus berdoa mudah-mudahan jangan ada mampir ke Indonesia," katanya.
Nyatanya pada awal Maret, Indonesia mencatat angka Covid-19 pertama kali. Kemudian diikuti dengan pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang saat ini diganti Satgas pada 13 Maret lalu.
Tak lama kemudian pada tanggal 31 Maret 2020, Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, yang mengatur pembatasan sosial berskala besar sebagai respons terhadap Covid-19.
Aturan ini memungkinkan pemerintah daerah untuk membatasi pergerakan orang dan barang masuk dan keluar dari daerah masing-masing asalkan mereka telah mendapat izin dari kementerian terkait. Aturan ini membentuk istilah kerja dan sekolah dari rumah dengan menggunakan aplikasi telekonferensi.
Akan tetapi, beberapa pelonggaran PSBB dilakukan untuk menjaga putaran roda perekonomian. Kebijakan pemerintah yang tak konsekuen, seperti pelonggaran aturan bepergian, dan parsial alias per daerah.
"Seperti misalnya pelarangan mudik, tapi ternyata ada pelonggaran. Ini kan bertolak belakang," ujar Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Hermawan Saputra.
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan pemerintah masih menghadapi masalah terkait penanganan Covid-19. Hal itu menyebabkan kasus positif di Indonesia mencapai 184.286 orang.
Menurut Pandu, kesehatan publik menjadi indikator penting terkait kecepatan respons suatu negara menghadapi pandemi Covid-19.
Dijelaskan Pandu, kesehatan publik dapat dicapai dengan langkah pengawasan atau surveilans dengan menggunakan testing, tracing dan isolasi. Namun menurutnya masalah surveilans masih menjadi momok di Indonesia.
"Untuk menghadapi respons menular yang paling cepat di Kementerian Kesehatan adalah surveilans, testing lacak isolasi. Surveilans ini yang jadi masalah padahal testing penting untuk identifikasi orang yang membawa virus," kata Pandu
Pandu mengkritik pemerintah yang setengah-setengah melakukan lockdown. Hal ini membuat penularan Covid-19 masih tinggi.
"Kalau kita mau diperpanjang 10 kali juga tidak ada efeknya, karena seperti lockdown-lockdown-an saja. Masyarakat masih jalan terus berpindah-pindah. PSBB transisi tapi dari awal tidak serius," kata Pandu.
Faktanya, angka kasus Covid-19 menurun saat awal PSBB berlangsung. Saat itu, 60 persen penduduk ada di rumah. Dalam kurun waktu 2 minggu, jumlah kasus Covid-19 menurun.
Pandu berasumsi pandemi saat ini bisa lebih terkendali apabila saat itu PSBB terus berlangsung secara ketat.
"Kalau benar-benar orang tinggal di rumah, PSBB serius itu sekarang lebih terkendali. Tapi kita tidak serius, kita tidak mengerti apa itu PSBB," kata Pandu.