Peniliti lain Ecoton, Chlara Budiarti menyebut, temuan ini juga merupakan ancaman bagi kesehatan dan pangan manusia, biasanya ditemukan ekosistem sungai hingga di laut.
Sebab mikroplastik adalah plastik kecil yang diameternya tidak lebih dari lima milimeter. Ukurannya yang mikroskopis memungkinkannya untuk masuk ke dalam sistem pencernaan hewan sungai atau laut yang nantinya akan dikonsumsi oleh manusia.
"Kandungan mikroplastik dalam air pada gilirannya akan masuk kedalam rantai makanan melalui air, plankton, benthos, ikan air tawar, ikan laut atau seafood dan masuk kedalam tubuh manusia," kata Chlara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chlara masuk dalam kategori endocrine disruption Chemical (EDC) bahan kimia yang bisa menjadi pengganggu hormon.
"Mikroplastik mengandung bahan tambahan seperti phtalate, bhispenil A, alkhyl phenol, pigmen warna dan anti retardan, semua bahan kimia tambahan ini bersifat karsinogenik dan mengganggu hormon," ujarnya.
Gangguan hormon akibat senyawa EDC akan mendorong manusia mengalami gangguan reproduksi, gangguan pertumbuhan, menopause lebih awal, menstruasi lebih awal bahkan saat ini ditemukan adanya penurunan kualitas sperma dan indikasi intersex.
Atas temuan itu, Ecoton pun mendesak pemerintah pusat dan pemerintah provinsi di Jawa untuk segera membuat perda lapangan untuk pengurangan penggunaan plastik sekali pakai
"Pemerintah harus mengendalikan polusi plastik dan masyarakat harus mulai menghentikan penggunaan plastik sekali pakai seperti sedotan, tas kresek, styrofoam, botol air minum sekali pakai dan sachet agar volume sampah plastik bisa berkurang" ujat chlara
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, dari 8 juta ton sampah plastik/tahun yang dihasilkan penduduk Indonesia, hanya 3 juta ton yang diolah Di TPS, 5 juta ton lain dibakar, ditimbun, dan 2,6 juta ton di antaranya paling banyak dibuang ke sungai.
"Karena salah satu sumber besarnya adalah 2,6 juta ton sampah plastik dari daratan yang digelontor ke laut melalui sungai," pungkas Prigi.
(frd/fjr)