Sejumlah pakar menilai proses akuisisi ini akan berdampak dalam jangka panjang maupun pendek terhadap Twitter.
Pertama, kehilangan pengguna dan pengiklan. Pasalnya, Elon Musk kerap menggaungkan kebebasan berpendapat. Hal itu dinilai bisa menjadikan Twitter lebih mirip dengan beberapa situs media sosial yang populer di kalangan konservatif yang kurang diminati.
Pasalnya, platform tersebut kerap dipenuhi konten berbahaya seperti informasi yang salah alias hoaks dan pelecehan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tempat-tempat yang hanya merupakan septic tank tanpa moderasi konten yang belum meluncur," kata profesor etika teknologi di Universitas Notre Dame Kirsten Martin.
Kedua, keraguan publik pada kebijakan internal. Jika akuisisi ini tidak berhasil, Twitter masih dapat menghadapi pengawasan baru terhadap bisnisnya, termasuk soal metode penghitungan spam dan keputusan moderasi kontennya.
Ketiga, efek pada harga saham. Sepanjang sejarahnya sebagai perusahaan publik, Twitter berjuang untuk menambah pengguna dan meningkatkan harga sahamnya.
Misalnya, saham Twitter diperdagangkan di bawah harga US$54,20 per lembarnya, cukup jauh dari saham yang ditawarkan Musk selama proses akuisisi. Hal ini dinilai sebagai indikasi skeptisisme investor tentang kesepakatan yang diselesaikan atau diselesaikan pada harga itu.
Keempat, Twitter berpotensi kehilangan SDM potensial. Dan kekhawatiran itu pun terjadi dua pekan lalu; sejumlah karyawan senior meninggalkan perusahaan, yakni manajer umum konsumen Kayvon Beykpour, dan pemimpin produk pendapatan Bruce Falck.
"Jika saya seorang karyawan sekarang, saya mungkin akan membuang resume saya, mencari pekerjaan baru," kata Angelo Zino, analis industri senior di penelitian CFRA. "Dalam situasi seperti ini, Anda berpotensi kehilangan beberapa talenta hebat."
Agrawal sendiri mengaku sudah bersiap dengan sejumlah efek buruk akuisisi itu.
"Sementara saya berharap kesepakatan akan tercapai, kita perlu bersiap untuk semua skenario dan selalu melakukan apa yang benar untuk Twitter," kicaunya.
"Terlepas dari kepemilikan perusahaan di masa depan, kami di sini meningkatkan Twitter sebagai produk dan bisnis untuk pelanggan, mitra, pemegang saham, dan Anda semua," tuturnya.
"Industri kami berada dalam lingkungan makro yang sangat menantang -- saat ini. Saya menang 'tidak menggunakan kesepakatan itu sebagai alasan untuk menghindari pengambilan keputusan penting demi kesehatan perusahaan, begitu pula pemimpin mana pun di Twitter."
(lom/arh)