Ciberbullying di Jepang Diancam 1 Tahun Bui, Bagaimana RI?
Jepang memberikan hukuman penjara satu tahun bahkan hukuman lebih berat lainnya bagi pelaku penghinaan online sebagai upaya untuk mengatasi perundungan di dunia maya alias cyberbullying.
Perundangan pidana di Jepang yang direvisi juga menaikkan denda untuk penghinaan hingga 300 ribu yen atau Rp32,9 juta dari sebelumnya kurungan kurang dari 30 hari atau denda dari 10 ribu yen.
Japantimes melaporkan langkah untuk mengamandemen undang-undang tersebut mendapat perhatian setelah Hana Kimura, pegulat profesional berusia 22 tahun dan anggota pemeran di reality show Netflix populer "Terrace House," diyakini bunuh diri pada Mei 2020 setelah menerima rentetan pesan kebencian di media sosial.
Dua pria di prefektur Osaka dan Fukui masing-masing didenda 9,000 Yen atas penghinaan yang diunggah tentang kepribadian Kimura sebelum kematiannya. Meskipun, beberapa orang menyatakan keprihatinannya karena hukuman yang diterima pelaku terlalu ringan, yang menyebabkan dorongan untuk perubahan hukum.
Dewan Legislatif Kementerian Kehakiman merekomendasikan kepada Menteri Kehakiman Yoshihisa Furukawa pada Oktober 2021 supaya hukuman buat pelaku bisa lebih berat. Furukawa mengatakan penerapan hukuman yang lebih berat bagi pelaku cyberbullying adalah hal yang penting.
"Itu menunjukkan penilaian hukum bahwa (perundungan dunia maya) adalah kejahatan yang harus ditangani dengan serius, dan bertindak sebagai pencegah," kata Furukawa yang menekankan langkah itu tidak akan bertindak sebagai pembatasan yang tidak dapat dibenarkan atas kebebasan berekspresi.
Terpisah, Comparitech menyebut kasus cyberbullying sedang meningkat seluruh dunia. Bahkan Comapritech membeberkan daftar statistik cyberbullying dari 2018-2022 yang diperbaharui secara berkala dengan fakta, angka, dan tren terbaru.
Survei dilakukan terhadap orang dewasa di 28 negara yang mengungkapkan peningkatan jumlah orang tua yang anaknya pernah mengalami beberapa bentuk perundungan siber.
Metodenya, wawancara terhadap 20.793 responden usia 18-64 tahun di AS dan Kanada dan usia 16-64 tahun di negara lain pada 23 Maret - 6 April 2018.
Yang menarik adalah Rusia dan Jepang. Di kedua negara, orang tua sangat percaya anak-anak mereka tidak mengalami cyberbullying dalam bentuk apa pun.
Hasil penelitian pada 2019 mengungkapkan 60 persen orang tua dengan anak berusia 14 hingga 18 tahun melaporkan intimidasi. Jumlah itu menjadi yang terbanyak daripada tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu, riset juga menemukan seperlima dari semua intimidasi terjadi melalui media sosial. Meskipun sebagian besar orang tua melaporkan intimidasi terjadi di sekolah, 19,2 persen menyatakan bahwa intimidasi terjadi melalui situs dan aplikasi media sosial.
Sebanyak 11 persen mengindikasikan intimidasi terjadi melalui pesan teks, sementara 7,9 persen mengidentifikasi video game sebagai sumber. Sementara itu, 6,8 persen melaporkan intimidasi terjadi di situs web non-media sosial, sementara 3,3 persen mengindikasikan intimidasi terjadi melalui email.
Comparitech melakukan survei terhadap lebih dari 1.000 orang tua dari anak-anak di atas usia 5 tahun. Hasilnya, 47,7 persen orang tua dengan anak-anak usia 6-10 melaporkan anak-anak mereka diintimidasi dan sebanyak 56,4 persen orang tua dengan anak-anak usia 11-13 melaporkan anak-anak mereka diintimidasi.
Di Indonesia sendiri, cyberbullying terancam dijerat Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman bui paling lama 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.
"Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik," demikian bunyi Pasal 27 ayat (3).
Di samping itu, Pasal 27 ayat 4 UU ITE bisa menjerat pihak yang mengunggah konten yang memiliki "muatan pemerasan dan/atau pengancaman", dengan sanksi penjara maksimal 6 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 Miliar.
(ttf/lth)