Jakarta, CNN Indonesia -- Perempuan berusia 31 tahun asal Bulacan, Filipina, ini ditangkap kepolisian di Bandar Udara Adi Sutjipto, Yogyakarta, pada 25 April 2010 atas usahanya menyelundupkan 2,6 kilogram heroin. Kemudian, pada bulan Oktober, perempuan bertubuh mungil ini divonis mati oleh Pengadilan Negeri Sleman dengan dakwaan melanggar Pasal 114 ayat 2 UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Ibu dua anak ini lalu dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wirogunan, Yogyakarta sejak 2010 setelah sebelumnya mendekam di lembaga pemasyarakatan khusus narkoba.
Pihak Mary Jane lalu mengirimkan grasi, yang ditolak oleh Presiden Jokowi. Mary Jane lalu mencoba mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan sidang PK di mana Pengadilan Negeri Sleman memutuskan meneruskan PK Mary ke Mahkamah Agung (MA).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut keterangan kuasa hukumnya, Agus Salim, Mary Jane diperkenalkan oleh seorang perempuan bernama Kristine oleh sang suami di Filipina. Saat itu, perempuan tersebut baru saja kembali bekerja dari Dubai sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Mary kemudian memutuskan pulang ke Filipina karena nyaris diperkosa oleh majikannya di Dubai. Setelah berkenalan dengan Kristin, Mary diajak untuk pergi ke Kuala Lumpur.
Di Kuala Lumpur, Mary menerima tas, tiket serta uang saku US$500. Tas tersebut rencananya dibawa ke Yogyakarta di mana seseorang semestinya datang dan menjemput Mary.
"Namun, sebelum menyerahkan kopernya, Veloso keburu ditangkap pihak keamanan bandara," kata Agus kepada CNN Indonesia, Selasa (10/3).
Kepada Agus, Mary Jane sempat mengeluhkan perasaannya. "Saya tahu saya bersalah. Namun, saya tidak menyangka hukumannya bisa eksekusi mati."
Sementara itu, hingga kini, pihaknya masih menunggu keputusan dari Mahkamah Agung mengenai PK yang diajukan kliennya. Agus mengatakan PK diajukan karena pihaknya menilai ada ketidakadilan yang dialami Mary saat sidang vonis mati pada 2010.
"Saat itu Mary ditemani oleh kuasa hukum yang tidak bisa berbahasa Tagalog dan penerjemah hanya mahasiswa yang belum lulus," kata Agus.
Pada sidang PK di PN Sleman, pihaknya telah mengajukan beberapa saksi, termasuk pemilik STBA di mana penerjemah sidang vonis Mary bekerja serta pembimbing rohani Mary, Romo Bernhard Kieser.
Dalam sidang itu, baik pemilik lembaga bahasa asing ataupun pembimbing rohani Mary mengakui adanya keterbatasan bahasa yang dimiliki Mary Jane. Mary Jane, menurut keterangan mereka, tidak bisa berbahasa Inggris fasih dan hanya lancar berbahasa Tagalog.
"Kami berharap MA bisa mempertimbangkan PK sehingga vonis mati bisa dibatalkan mejadi vonis hukuman seumur hidup," kata dia menegaskan.
Sebelumnya, pihak Mahkamah Agung belum juga memutuskan permohonan PK yang diajukan Mary Jane. Juru bicara MA Suhadi mengatakan lembaganya sampai saat ini belum ada keputusan terkait permohonan PK Mary Jane.
"PK belum sampai ke Ketua Kamar Pidana Khusus MA," kata Suhadi saat dikonfirmasi CNN Indonesia, Jumat (6/3).
(utd)