Jakarta, CNN Indonesia -- Maroef Sjamsuddin, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negera (BIN) yang kini menjabat sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia mengaku sempat marah besar kepada manajemen perusahaan tempatnya kini bekerja yang dinilai pemerintah tidak serius membangum pabrik pengolahan dan pemurnian bahan galian tambang alias smelter.
Padahal menurut Maroef, semua orang di perusahaan tahu bahwa terealisasinya pembangunan smelter menjadi salah satu syarat yang diminta pemerintah untuk bersedia memperpanjang kontrak karya perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.
"Jalannya lambat untuk tunjukkan komitmen ke regulator (pemerintah). Saya (sempat) marah ke staff," tutur Maroef di Jakarta, Kamis (22/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berangkat dari hal ini, dia pun berjanji akan mengurai kendala-kendala renegosiasi kontrak karya yang ada. Ini dilakukan agar pemerintah dapat terus mengizinkan ekspor konsentrat perseroan.
"Ini akan saya dorong. Saya (berpikir) positif tentang apa yang diingatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa tenggat izin ekspor Freeport sudah mepet. Jadi ada komitmen yang harus diselesaikan," ujarnya.
Maroef masuk menjadi Presiden Direktur Freeport mulai 7 Januari 2015, menggantikan Rozik B. Soetjipto yang memasuki masa pensiun ditengah renegosiasi kontrak karya dengan pemerintah.
Sebelumnya,
Menteri ESDM Sudirman Said menyatakan rasa kecewanya terhadap kinerja manajemen Freeport. Pasalnya pengelola tambang Grasberg di Papua itu urung menunjukkan hasil yang signifikan terkait pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur.
"Saya mendapat laporan progres smelter Freeport masih jauh. Saya kecewa. Saya tidak gembira karena Freeport tidak menunjukan kesungguhan," tutur Sudirman di kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Selasa (20/1). Oleh karena itu Sudirman mengaku akan membekukan izin ekspor konsentrat Freeport.
(gen)