Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal pajak (DJP) mencatat 557 wajib pajak (WP) menunggak hingga 5 triliun. Sebagian besar dari pengemplang pajak menjalankan bisnisnya di sektor perdagangan, perkebunan dan pertambangan.
"Paling banyak itu di perdagangan. Ada juga yang di pertambangan dan perkebunan," ujar Dadang Suwarna, Direktur Pencegahan dan Penagihan Pajak DJP kepada CNN Indonesia, Sabtu (31/1).
Dadang menjelaskan 557 WP tersebut masuk kategori penunggak pajak yang terancam sanksi hukum yang paling berat. Sedikitnya 500 WP menunggu waktu untuk dicekal bepergian ke luar negeri, sedangkan 57 WP lainnya tengah dipertimbangkan untuk disandera atau
gijzeling di lembaga pemasyarakatan (Lapas).
"Paling banyak itu di Jawa dan Sumatera. Tapi ada juga yang di Indonesia Timur," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
DJP, kata Dadang, akan melakukan eksekusi dalam dua gelombang penindakan. Gelombang pertama berlangsung hingga November 2015, sedangkan gelombang kedua dimulai sejak Desember 2015.
"Pokoknya
hampir setiap bulan akan ada eksekusi gijzeling, sedangkan yang dicekal hampir setiap hari saya menandatangani surat pencekalan," tuturnya.
Dalam waktu dekat ini, kata Dadang, akan ada
sembilan pengemplang pajak yang akan mendekam di penjara. Sanksi gijzeling dikenakan kepada mereka karena berkas penindakannya sudah lengkap dan siap untuk dieksekusi. Adapun Lapas yang akan menampung para calon tersandera itu akan disesuaikan dengan domisili para pengemplang pajak.
"Kalau di Jakarta ada Lapas Salemba, kalau di Semarang ya di Semarang, di Surabaya ya di Surabaya. Pokoknya disesuaikan dengan lokasi WP yang bersangkutan," tuturnya.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa, pencegahan pergi ke luar negeri dikenakan bagi WP yang memiliki utang pajak sebesar Rp 100 juta. Sementara itu, penyanderaan dilakukan paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk enam bulan kemudian.
(ags/ags)