Jakarta, CNN Indonesia -- Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi atau dikenal dengan Tim Antimafia Migas kembali mempertanyakan kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said yang menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) jenis premium sebesar Rp 200 per liter mulai awal Maret 2015.
Pasalnya, meski pemerintah telah menetapkan harga jual di level Rp 6.800 per liter namun PT Pertamina (Persero) selaku badan usaha yang ditunjuk untuk mendistribusikan BBM tersebut belum melaporkan keuntungan yang diperoleh dan biaya pengolahan yang dikeluarkan.
"Coba Anda lihat Thailand, setiap hari mereka membuka data tentang ongkos kilang berapa, storage berapa. Kalau itu ada disini, semua rakyat Indonesia kena (bisa tahu). Terus kenapa dinaikkan Rp 200 kalau kita tidak tahu ongkos kilang berapa," ujar Ketua Tim Antimafia Migas Faisal Basri di Jakarta, Selasa (3/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain kenaikan harga Premium, Faisal juga mengomentari penetapan harga jual beberapa jenis BBM seperti Pertamax dan Pertamax Plus oleh Pertamina. Dengan harga Pertamax di Level Rp 8.250 per liter dan Pertamax Plus di Rp 9.450 per liter, harga kedua jenis BBM tersebut di Indonesia dinilai jauh lebih mahal ketimbang Malaysia dan Thailand.
"Per 1 Maret kemarin harga RON 95 di Malaysia itu Rp 7.100 per liter sementara di Indonesia itu Rp 9 ribu-an (Rp 9.450 per liter). Ini yang mengganjal," ujar Faisal.
Berangkat dari hal tersebut, dia mendesak pemerintah dan Pertamina segera membuka secara transparan biaya pengolahan, penyimpanan minyak, hingga keuntungan yang diambil untuk produk premium. Disamping itu, dia juga meminta pemerintah segera merealisasikan rekomendasi tim terkait penghapusan penjualan minyak berkadar RON 88 ini.
"Kami bikin rekomendasi yang bikin kekuatan mafia terjepit. Kalau tetap seperti ini banyak sekali yang masih serba gelap," pungkasnya.
(gen)