Jakarta, CNN Indonesia -- Board of Director Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah mengusulkan agar pemerintah tak hanya menerapkan skema kontrak bagi hasil (
production sharing contract/PSC) di dalam pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang saat ini sedang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sammy menyarankan Kementerian ESDM untuk membuka kemungkinan penggunaan kontrak
Gross PSC dan
Services Contract dalam draf Rancangan UU Migas yang baru.
"Ini sejalan dengan rencana pemerintah yang akan merevisi UU Migas dan menghilangkan konsep kontrak menjadi izin usaha. Dengan begitu saya pikir perlu tinjauan untuk (pemberlakuan) kontrak
Gross PSC yang hampir sama dengan royalti dan pajak atau
Services Contract pada beberapa wilayah kerja migas di Indonesia," ujar Sammy di Jakarta, Senin (13/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden Direktur Energi PT Energi Pasir Hitam Indonesia (Ephindo) itu meyakini, penerapan kontrak
Gross PSC dan
Services Contract diyakini bakal memacu investasi di sektor hulu migas nasional. Akan tetapi menurutnya, pemerintah harus dapat memberi kepastian hukum terhadap aturan-aturan turunan yang sejatinya menjadi penjamin agar pemberlakuan dua kontrak baru tadi tak saling kontradiktif.
"Karena pada dasarnya pengusaha ingin mendapatkan kepastian hukum untuk bisnisnya. Masalah pemberlakuan
Gross PSC dan
Services Contract bisa ditinjau dari potensi serta risiko setiap wilayah kerja migasnya," tutur Sammy.
Di kesempatan yang sama, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gde Pradnyana pun sependapat dengan usulan Sammy terkait pemberlakukan
Gross PSC di dalam pengelolaan wilayah kerja Migas Indonesia.
Meski begitu, Gde bilang putusan untuk pemberlakuan skema kontrak tadi menjadi domain Kementerian ESDM selaku representasi dari pemerintah pusat. "Kalau orientasinya untuk menaikkan produksi, kita harus ubah PSC, kurangi peran
goverment, kurangi peran perpajakan, kalau perlu hapus sistem
recovery dan ganti dengan
royalty (
gross PSC). Maka investor akan berbondong bondong datang untuk menggarap sumur-sumur migas," katanya.
Sebagi informasi,
Gross PSC merupakan salah satu bentuk kontrak pengelolaan wilayah kerja migas yang pembagian hasil produksinya (
split) didasarkan pada jumlah kotor dari sumur-sumur produksi. Pembeda utamanya dengan PSC, skema
Gross PSC tidak memberlakukan komponen
cost recovery yang merupakan biaya penggantian investasi oleh negara ke kontraktor migas atas biaya kegiatan eksplorasi maupun produksi.
Skema ini sendiri, terang Gde memiliki banyak kesamaan dengan konsep royalti dan pajak seperti wacana yang digulirkan pemerintah menyusul rencana perubahan bentuk kontrak menjadi izin usaha dalam draf usulan RUU Migas.
"Yang penting negara dapat lebih dari 50 persen dan sisanya terserah KKKS bagaimana ingin membelanjakan itu. Itulah sistem
gross PSC. Ini mungkin bisa memenuhi aspirasi kedua pihak dan kita tidak menyebut diri untuk tidak merubah ke royalti tapi sebetulnya konsep penerimaan negar lebih terjaga," terangnya.
(gen)