Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian mengakui pemberian insentif keringanan pajak penghasilan (PPh) atau
tax allowance selama ini kurang efektif meningkatkan kinerja industri manufaktur. Pasalnya, selama tujuh tahun terakhir hanya 85 perusahaan yang bisa memanfaatkan fasilitas tersebut.
"Untuk persyaratannya akan dipermudah, kami akan berikan kemudahan-kemudahan. Karena sejak 2007 sampai dengan 2014 kemarin, hanya 85 perusahaan yang dapat. Bayangkan dalam tujuh tahun cuma 85 perusahaan," ujar Haris Munandar, Kepala Pusat Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian di kantornya, Selasa (5/5) sore.
Penyebabnya macam-macam, kata Haris. "Bisa karena persyaratannya yang
rigid, bisa karena mereka takut diaudit, bisa juga karena ketidaktahuan mereka akan fasilitas ini," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Haris mengatakan ketidakefektifan tersebut yang melandasi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Dalam payung hukum yang terbaru, PP Nomor 18 Tahun 2015, Haris menuturkan sejumlah persyaratan dihapuskan untuk memberikan fleksibilitas dan kemudahan kepada pelaku industri yang ingin memanfaatkan
tax allowance.
"Sebenarnya banyak yang mengantri untuk dapat
tax allowance waktu masih PP 52, seperti Hankook (perusahaan ban). Tapi saya suruh tunggu sampai aturannya direvisi atau dipermudah," ucap Haris.
Dalam beleid yang terbaru, lanjut Haris, sejumlah persyaratan dihapus dan hanya dibunyikan pada aturan pelaksana yang diterbitkan menteri-menteri pembina industri. Persyaratan tersebut sifatnya tidak wajib dan hanya jadi kriteria untuk bisa mendapatkan tambahan waktu pemanfaatan
tax allowance.
"Kalau di aturan yang baru hanya mempersyaratkan kalau ada perluasan usaha harus ada izin perluasan, sedangkan kalau investasi baru harus ada izin prinsip," tuturnya.
Apabila sebelumnya pemerintah mempersyaratkan minimal nominal investasi dan serapan tenaga kerja pada angka tertentu, maka pada ketentuan yang baru persyaratan tersebut dihapuskan.
Begitu pula untuk kewajiban penggunaan komponen lokal dan minimal luas lahan, persyaratan tersebut tak lagi tertera pada daftar bidang usaha tertentu penerima fasilitas.
Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro yang juga merangkap sebagai Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Indutri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Kementerian Perindustrian, mengaku bingung atas implementasi dari PP Nomor 52 Tahun 2011 yang tidak efektif selama ini. Menurutnya, cukup banyak hambatan bagi industri untuk menyerap fasilitas tersebut, tetapi Panggah tidak bisa menjelaskan sisi negatif dari kebijakan itu.
"Saya kira ada sesuatu yang membuat tidak maksimal. Banyak faktor, Saya tidak bisa jelaskan di sini," tuturnya.
Panggah mengatakan cukup banyak pelaku industri yang mengantre untuk mendapatkan fasilitas tersebut, tetapi karena aturannya
rigid banyak yang terdiskualifikasi karena tidak memenuhi persyaratan. Kendati semangat pemerintah ingin mempermudah, tetapi pada praktiknya terhambat karena secara legal sudah tertulis dalam PP 52 Tahun 2011.
"Tetapi yang tertulis kadang tidak fleksibel karena sudah tertulis. Kadang interpretasinya kita tidak bisa lebih leluasa," tuturnya.