Jakarta, CNN Indonesia -- Selain tak memenuhi kriteria anggota, rencana Indonesia kembali masuk Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga dinilai akan menimbulkan konflik kepentingan di bursa emas hitam. Pasalnya, misi yang diemban Indonesia sebagai negara pengimpor minyak akan bertolak belakang dengan kepentingan 12 negara pengekspor minyak yang telah bercokol di OPEC sejak lama.
"Kalau pun dimungkinkan bisa masuk (OPEC), lalu kepentingan Indonesia selaku importir dengan negara eksportir akan berbeda. Eksportir ingin kecenderungan harga minyak tinggi, sedangkan importir inginnya harga murah," ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro kepada CNN Indonesia, Selasa (12/5).
Berdasarkan pengamatan Komaidi, produksi minyak mentah Indonesia anjlok sejak sepuluh tahun terakhir. Apabila pada era 1990 Indonesia punya cadangan minyak sekitar 9 miliar hingga 12 miliar barel, saat ini cadangan tersebut menyusut drastis tinggal 3,7 miliar barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada 1990-an produksi minyak kita sekitar 1,5 juta barel per hari (bph) dengan tingkat konsumsi domestik sekitar 500 ribu barel bph. Saat ini kebalik, produksi tidak dampai 800 ribu bph, tetapi konsumsinya mencapai kisaran 1,5 juta bph," tuturnya.
Defisit neraca minyak yang membengkak, kata Komaidi, menjadi alasan Pemerintah Indonesia untuk membekukan keanggotaaanya pada 2008 dan memutuskan keluar pada tahun berikutnya. Dengan kondisi perminyakan yang tidak bertambah baik, Komaidi mempertanyakan kelaikan Indonesia untuk masuk lagi ke dalam OPEC.
"Setahu saya OPEC itu kan anggotanya negara-negara pengekspor minyak, sedangkan Indonesia net importir. Apakah laik? Contoh geng motor, anggotanya harus punya motor. Begitu juga OPEC, anggotanya harus pengekspor minyak," jelasnya.
Klaim pemerintah mengenai posisi ekspor minyak Indonesia juga menjadi perdebatan. Komaidi mengatakan minyak mentah yang selama ini keluar dari Indonesia sebenarnya merupakan sebagian hak dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asing yang uang hasil penjualannya tidak masuk dalam kas negara.
"Itu hak KKKS asing untuk mereka bawa pulang atau jual kepada pembeli mereka. Tapi kan pemerintah mencatatnya sebagai ekspor yang sebenarnya secara riil tidak ada uang masuk ke kita," katanya.
Tidak Cukup Lima TahunMenurut Komaidi, bisnis perminyakan bukanlah sektor usaha yang sifatnya jangka pendek. Untuk tahap eksplorasi saja, sebelum berproduksi, setidaknya butuh waktu sekitar lima sampai enam tahun. Tahapannya bisa lebih panjang lagi jika KKKS belum menemukan sumber minyak yang akan dibor.
"Masalahnya sering kali pemerintah berpikir instan, tidak mau tahu prosesnya bagaimana. Mau cepat-cepat produksi naik," tuturnya.
Untuk kembali menjadi negara net eksportir minyak, sulit bagi Komaidi untuk memprediksi berapa lama Indonesia bisa merealisasikannya. Banyak contoh kasus di sektor energi, yang program dan proyeknya tidak tuntas meski sudah dua kali periode pemerintahan berganti.
"Contohnya program 10.000 mega watt, itu 10 tahun tidak selesai. Pun demikian terhadap sektor migas. Jadi tidak mungkin dalam lima tahun pemerintahan Joko Widodo," katanya.
(ags)