Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan lesunya kegiatan impor sampai pertengahan kuartal II 2015 telah menekan angka penerimaan pajak terkait kegiatan tersebut. Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Sigit Priadi Pramudito, dua jenis penerimaan pajak yang turun akibat hal itu adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) impor.
Dalam catatan Sigit, PPh Pasal 22 impor amblas 12,28 persen menjadi Rp 17,17 triliun sampai 31 Mei 2015. Sementara pada periode yang sama tahun lalu, realisasi penerimaan PPh Pasal 22 impor masih tercatat sebanyak Rp 19,57 triliun.
Kondisi tersebut juga berpengaruh pada PPN impor yang turun 10,72 persen atau sebesar Rp 53,66 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 60,11 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demikian pula halnya dengan PPnBM impor yang juga mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 28,38 persen atau sebesar Rp 1,86 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 2,6 triliun.
“Berdasarkan data Bank Indonesia, perlambatan ekonomi masih terasa hingga pertengahan kuartal II 2015 yang ditandai dengan melemahnya kurs hingga menembus Rp 13 ribu per dolar Amerika Serikat dan penurunan impor Indonesia dari awal tahun hingga akhir Mei 2015. Itu salah satu penyebab berkurangnya penerimaan pajak terkait kegiatan impor,” kata Sigit dikutip dari laman DJP, Kamis (4/6).
Tidak hanya mengalami kesulitan dalam meningkatkan penerimaan pajak atas barang impor, Sigit juga mengakui adanya penurunan penerimaan pajak atas barang dalam negeri. Ia menyatakan hal tersebut bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2015 yang hanya menyentuh 4,7 persen. Hal tersebut kemudian membuat Bank Indonesia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun ini menjadi hanya 5,1 persen.
“Keseluruhan kondisi makro ekonomi tersebut berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan penerimaan pajak seperti PPh Pasal 22 dan PPN dalam negeri,” katanya.
Perlambatan ekonomi juga memicu penurunan konsumsi dalam negeri yang berkontribusi pada anjloknya penerimaan PPh Pasal 22. DJP mencatat terjadinya penurunan pertumbuhan sebesar 5,84 persen atau menjadi Rp 2,25 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 2,39 triliun.
Penurunan penerimaan juga terjadi pada pos PPN dalam negeri 1,93 persen atau menjadi Rp 82,21 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 83,83 triliun.
“Penurunan ini juga terjadi atas konsumsi atas barang mewah yang berdampak pada penurunan pertumbuhan PPnBM dalam negeri 8,53 persen atau menjadi Rp 3,77 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 4,12 triliun,” keluhnya.
Penjualan HarleySebelumnya Djonnie Rahmat, Direktur Utama PT Mabua Motor Indonesia mengaku penurunan penjualan motor Harley Davidson yang menjadi bisnis utama perusahaan yang dipimpinnya telah mengalami penurunan sejak tahun lalu. Perluasan objek PPnBM oleh DJP disebut Djonnie sebagai penyebab susutnya penjualan motor besar oleh perusahaan sebanyak 50 persen.
Beban itu bertambah berat dengan dimasukkannya sepeda motor bermesin besar sebagai objek PPh pasal 22 yang harus dibayarkan oleh pembeli barang sangat mewah mulai tahun ini.
"Jadi sejak 19 April 2014 penjualan kami turun habis-habisan karena motor gede mulai kena PPnBM 60 persen untuk yang cc-nya 490 cc ke bawah dan 125 persen untuk yang kapasitas mesinya besar di atas 500 cc," jelas Djonnie.
Menurutnya harga motor Harley Davidson di Indonesia merupakan yang paling mahal di dunia. Sebab, total pajak yang harus dibayarkan oleh ATPM dan pembeli motor Harley Davidson mencapai 215 persen dari harga riilnya.
"Karena setibanya di pelabuhan kami harus bayar bea masuk, PPN 10 persen, PPh, lalu PPnBM. Kalau ditotal pajaknya 215 persen," ujar Djonnie mengeluh.
Djonnie mengaku pihaknya hanya berhasil menjual sekitar 400 unit Harley Davidson pada tahun lalu, anjlok 50 persen jika dibandingkan rata-rata penjualan tahun sebelumnya 800 cc. Tahun ini, kondisinya diperparah dengan semakin lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Tapi kami coba upayakan penjualan di atas 500 unit tahun ini," katanya.
Harley Davidson, jelas Djonnie, merupakan merek motor yang telah melegenda di dunia. Menungganginya merupakan gengsi bagi pemiliknya, yang rata-rata membeli karena hobi. Karena faktor itu pula yang membuat permintaan motor gede ini cenderung sulit untuk meningkat karena orang sudah merasa cukup hanya dengan membeli satu unit.
"Jadi orang yang punya Harley itu tidak memilih untuk membeli lagi, cukup hanya satu yang dimilikinya," keluh Djonnie.
(gen)