Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan Bank Indonesia (BI) melarang transaksi tunai menggunakan mata uang asing yang disertai sanksi denda dan penjara diragukan efektivitasnya oleh kalangan perbankan. Kendati tujuannya positif untuk meredam volatilitas kurs, tetapi pengawasan dan penegakan hukumnya diyakini akan sulit karena transaksinya tersebar dalam berbagai skala.
"Sanksi hukumnya ini yang jadi tanda tanya cukup besar. Belum pernah pernah lihat sanksi hukum dikenakan kepada pelanggar. Karena kalau lihat di Glodok saja, itu banyak sekali transaksi pakai dolar. Jadi
law enforcement-nya akan sangat susah," ujar Treasury Manager BRI Syariah, Rahmat Wibisono kepada CNN Indonesia, Rabu (10/6).
(baca juga:
Masih Bertransaksi Pakai Dolar? Siap-siap Dipenjara 1 Tahun)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, membatasi transaksi valas melalui perbankan relatif mudah karena biasanya nominalnya cukup besar. Namun, untuk transaksi yang sifatnya langsung atau tunai dengan skala nominal kecil akan sangat sulit untuk mengendalikannya.
"Tapi dalam kondisi pelemahan kurs saat ini, memaksa penggunaan rupiah itu sesuatu hal yang positif. Diharapkan nilai tukarnya kembali menguat," tutur Rahmat.
Mengenai rezim devisa bebas, Rahmat Wibisono menilai sistem tersebut hanya membebaskan perdagangan lintas batas negara. Namun untuk kebijakan pengendalian mata uang, lanjutnya, menjadi kewenangan masing-masing negara untuk menerapkannya.
"Khusus untuk pengendalian mata uang itu kedaulatan kita dan
impact-nya cukup besar sekali (terhadap penguatan rupiah)," ucap Rahmat Wibisono.
Sebelumnya, Otoritas Moneter menerbitkan Surat Edaran BI (SEBI) Nomor 17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mulai bulan ini semua kegiatan transaksi di dalam negeri, baik secara tunai maupun non tunai, wajib menggunakan rupiah dan bagi yang melanggar diancam kurungan penjara 1 tahun.
(ags)