Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi pengusaha sawit menilai pemerintah tidak konsisten dalam menjamin kelangsungan industri menyusul pengenaan pungutan ganda dana pengembangan dan bea keluar kelapa sawit.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Biodiesel Indonesia (Aprobi), Togar Sitanggang menyesalkan sikap pemerintah yang dinilai kurang berkoordinasi dalam memungut dana pengembangan kelapa sawit (CPO Supporting Fund) serta pengenaan bea keluar atas beberapa produk turunan CPO.
Lemahnya koordinasi pemerintah, antara lain di internal Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan yang dinilai Togar masih belum ajeg dalam penggunaan produk hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Di beberapa pelabuhan seperti di Sumatera dan Kalimantan, Bea Cukai menerapkan aturan yang berbeda dalam hal pengkategorian produk hingga pengenaan bea keluar. Dari laporan yang kami terima, ada perusahaan yang dipaksa memakai aturan lama padahal harusnya aturan baru,” ujar Togar di kantor Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Kamis (23/7).
Menurut Togar, salah satu aturan yang dinilai masih menimbulkan kebingungan pelaku usaha ialah penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2015 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Meskipun beleid tersebut dinyatakan telah terbit, tetapi sampai saat ini pemerintah tak kunjung merilis sekaligus melakukan sosialisasi aturan tersebut.
Demikian pula dengan PMK Nomor 133/PMK.05/2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Pengelola Daba Perkebunan Kelapa Sawit yang fisik aturannya baru diterima pengusaha siang tadi.
“Kami tidak menyangka sampai seruwet ini. Jelas kekacauan di lapangan akibat tidak konsistenannya pemerintah yang buat pusing kepala pengusaha,” tutur Togar.
Sertifikasi Produk RancuPada kesempatan yang sama, Wakil Ketua DMSI, Sahat Sinaga juga menyayangkan sikap opurtunis jajaran DJBC yang mewajibkan pengusaha sawit mengantongi sertifikat dari PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo) selaku surveyor, sebelum mengekspor produk turunan CPO.
Padahal, kata Sahat, dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54/M-Dag/PER/7/2015 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis Terhadap Ekspor Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turuannya, beberapa produk yang kerap dipermasalahkan DJBC sebenarnya tak wajib sertifikasi ekspor.
“Diantaranya produk RBD Olein. Ketika Sucofindo tidak mempermasalahkan, kenapa Bea Cukai malah mewajibkan. Ini kan ego sektoral namanya,” tutur Sahat.
Berangkat dari hal tersebut, pria yang juga Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) itu pun menilai pemerintah kurang siap dalam hal menerapkan CPO Supporting Fund dan juga pengenaan bea keluar untuk beberapa produk turunan CPO.