Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah pemerhati kebijakan energi nasional menyayangkan sikap Pemerintah yang tak juga menurunkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, meski harga minyak dunia sudah mengalami tren penurunan dan masuk ke level US$ 40 per barel.
Disinyalir kuat, kebijakan menahan harga dilakukan Pemerintah untuk memberikan 'ruang' kepada PT Pertamina (Persero) demi menutupi selisih rugi lantaran dalam beberapa waktu terakhir manajemen tak menaikan harga BBM walau saat itu harga minyak sedang meningkat.
Padahal dalam kebijakan yang termaktub di postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015, Pemerintah menyatakan telah mengembalikan harga BBM jenis premium pada mekanisme pasar dan hanya memberikan subsidi sebesar RP 1.000 untuk setiap liter penjualan solar dan minyak tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berangkat dari hal tadi, Ekonom Universitas Indonesia (UI) yang juga Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM), Faisal Basri menilai pemerintah tak konsisten dan sangat merugikan Pertamina.
“Bisa dibayangkan berapa kerugian Pertamina setiap hari. Praktek seperti ini sangat tidak sehat (karena menjadikan) besaran subsidi yang tercantum dalam APBN jadi semu (dan) tidak mencerminkan yang sebenarnya,” tulis Faisal dalam blog pribadinya yang dikutip CNN Indonesia, Minggu (26/7).
Penjualan Pertalite DipertanyakanSelain menyoal harga, Faisal bilang hal yang menjadi fokus kritikannya juga terletak pada kebijakan pemerintah menyusul pemberian izin untuk Pertamina merilis BBM baru berkadar oktan 90 yakni Pertalite. Ia berpendapat, boleh jadi pemberian restu untuk menjual Pertalite juga dilakukan demi mengutip untung guna menutup kerugian bisnis hilir minyak Pertamina selama ini.
Padahal jenis BBM tadi tak memiliki referesi harga di pasar minyak Singapore (Platts) dan kualitasnya tak masuk standar ideal di kawasan Asia Tenggara dan Timur.
“Thailand dan Malaysia, bahkan telah bermigrasi ke RON 95 sebagai BBM kualitas terendah. Ingat: P
ertalite bukan produk kilang, melainkan cuma sekedar produk campuran. Dari mana asal barang itu, Pertamina (sendiri) masih merahasiakannya. Entah mengapa,” tegasnya.
Berbekal fakta tadi, Faisal pun meminta pemerintah segera mengambil kebijakan untuk menyesuaikan harga BBM yang dijual ke masyarakat. Ini dimaksudkan guna memberi peluang kepada masyarakat dan dunia usaha yang belakangan kehilangan kesempatan untuk mendapat “energi” tambahan di tengah desakan katalis negatif ekonomi yang terjadi.
“Bagi perekonomian, langkah itu (menahan harga) sungguh tidak produktif. Kebijakan fiscal (juga) jadi tidak kredibel, (dan) ibaratnya pemerintah membohongi diri sendiri,” tandasnya.
(dim/gen)