Jakarta, CNN Indonesia -- Kenaikan cukai produk hasil tembakau, seperti rokok, dinilai terlalu dipaksakan untuk mengejar target. Sementara industri rokok sudah merasakan tekanan besar. Sebanyak 81,6 persen pemain di industri itu sudah gulung tikar.
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan pemerintah harus realistis melihat kondisi industri tembakau. “Kami tidak berkeyakinan target akan tercapai, namun kami akan bilang targetnya harus realistis. Kami yakin publik bisa memahami kondisi ini. Jadi yang realistis saja dan jangan muluk-muluk,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (3/9)
Menurut Misbakhun, dibandingkan komoditas lain yang dikenakan cukai, produk hasil tembakau adalah sumber utama cukai dengan porsi sebesar 96 persen serta satu-satunya produk yang dihantam kenaikan cukai signifikan. Target cukai tembakau tahun 2016 mencapai Rp 148,9 triliun, seperti tercantum dalam nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menilai instrumen yang lazim dipakai pemerintah untuk memenuhi target cukai tembakau adalah kenaikan tarif cukai tembakau. Pemerintah jangan hanya memikirkan intensifikasi cukai dengan cara menaikkan cukai rokok tiap tahun tanpa melihat dampaknya. Soalnya, kenaikan cukai yang terlampau tinggi akan mengakibatkan turunnya daya beli yang berlanjut pada penurunan produksi, kemudian pemutusan hubungan kerja (PHK) dan juga penyerapan bahan baku rokok, yakni petani tembakau.
“Akibat buruk lain adalah meningkatnya produk rokok illegal,” ujar anggota Baleg ini.
Politikus Golkar ini mendesak pemerintah melakukan ekstensifikasi obyek cukai baru, seperti minuman berpemanis, dan fuel surcharge. “Obyek ini sebagai potensi barang kena cukai karena berdampak pada kesehatan. Jangan hanya naikkan cukai rokok tiap tahun. Apakah pemerintah berani mencari obyek cukai baru?” katanya.
Sementara itu Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Aziz US mengatakan, pada tahun ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 20/PMK.04/2015 perubahan PMK No. 69/PMK.04/2009 yang mengamanatkan industri rokok harus membayar cukai di tahun berjalan.
Akibatnya, penerimaan negara dari cukai rokok tahun ini yang ditarget Rp 139,1 triliun didapatkan dari 14 bulan pembayaran cukai. Menurutnya, 14 bulan penerimaan karena cukai November-Desember 2014 sesuai dengan peraturan terdahulu dibayar 60 hari setelah pembelian pita cukai atau jatuh pada Januari-Februari 2015. Dengan demikian, secara riil target penerimaan cukai dalam 12 bulan tahun ini adalah Rp 120 triliun.
“Oleh karena itu, penaikan target cukai rokok tahun depan yang ditetapkan menjadi Rp 148,9 triliun mengalami penaikan 23,5 persen bukan 7 persen seperti yang diungkapkan pemerintah,” ujarnya.
Ia menuturkan, secara historis, setelah kebijakan cukai rokok tinggi diterapkan dalam lima tahun terakhir. Akibatnya 81,6 persen industri rokok yang tergabung dalam Gappri baik golongan kecil, menengah, dan besar telah gulung tikar.
“Sepanjang 2009 hingga 2014, dari semula unit produksi berjumlah 3.255 unit, kini hanya menyisakan 600 unit. Dalam hal ini, terjadi peningkatan kapasitas produksi oleh industri rokok besar, karena pasar yang ditinggalkan oleh produsen kecil mulai beralih,” ujarnya.
(ded/ded)