Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) yang akan mengelola Blok Mahakam di Kalimantan Timur pasca berakhirnya kontrak mulai 31 Desember 2017 diminta untuk tetap menggandeng operator sebelumnya Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation. Hal tersebut dinilai perlu guna menjamin terpenuhinya kebutuhan dana operasional untuk kegiatan produksi minyak dan gas bumi (migas) di blok itu.
Mantan anggota Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas Fahmi Radhy mempertanyakan kemampuan pendanaan Pertamina dalam mengelola Blok Mahakam. Pasalnya, butuh dana besar untuk investasi dan teknologi dalam mengelola Blok Mahakam. Belum lagi dari sisi karakteristik berbeda dengan blok migas lain.
"Pertamina beberapa kali menyebutkan mampu, tapi khusus untuk Blok Mahakam saya kira Pertamina akan kesulitan dari sisi pendanaan. Belum lagi nanti dalam meningkatkan produksinya karena butuh teknologi mumpuni karena karakteristik khusus Blok Mahakam. Sehingga mau tidak mau memang butuh teknologi yang dimiliki Total. Oleh karena itu Total tetap digandeng tetapi manajemen boleh dipegang Pertamina," tegas Fahmi di Jakarta, Selasa (22/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat energi dari Universitas Gajah Mada ini memperkirakan Pertamina akan sulit mendanai sendiri kebutuhan operasional Blok Mahakam, setelah manajemen perseroan memperkirakan kebutuhan investasi untuk menjadi pengelola blok tersebut akan menghabiskan sekitar US$ 2,5 miliar.
Selain itu, Pertamina disebut Fahmi kurang fokus dalam berbisnis karena ingin berinvestasi di bisnis minyak, listrik, gas dan berbagai proyek energi lainnya.
“Seharusnya Pertamina fokus mengurusi urusan hulu migas dan tidak merambah ke yang lainnya. Jadinya bisa
belepotan semua seperti saat mau menangani Blok Mahakam,” katanya.
Dalam masa awal pengelolaan Blok Mahakam, Fahmi menilai akan lebih baik bagi Pertamina jika menggandeng Total karena memiliki pengalaman lebih mengelola blok tersebut.
"Pada tahap awal menggandeng Total paling tepat karena dia punya teknologinya, secara bertahap baru kemudian dialihkan sepenuhnya ke Pertamina," ujar Fahmi.
Menurut dia, jika Pertamina menggandeng swasta lain, selain sangat rentan KKN juga dikhawatirkan terjadi blunder sehingga kinerja Blok Mahakam justru tidak maksimal. Fahmi mengatakan, saat ini, sejumlah pengusaha yang dekat dengan istana berlomba-lomba ingin masuk ke Blok Mahakam.
"Jika tidak diantisipasi akan ada potensi KKN dari pengusaha sekitar istana, karena mereka saat ini berlomba-lomba ingin masuk ke Blok Mahakam, tandasnya.
Tak Sanggup SendiriPada 19 Juni 2015, pemerintah telah menetapkan besaran hak partisipasi (
participating interest/PI) untuk kontraktor Mahakam pasca 2017. Rinciannya Pertamina dan Badan Usaha Milik Daerah sebesar 70 persen, sedangkan kontraktor sebelumnya yakni Total E&P Indonesie berikut Inpex Corporation sebesar 30 persen.
Akan tetapi, pembahasan mengenai kelanjutan pengelolaan WK Migas yang ditaksir masih mengandung cadangan minyak sebesar 131 juta barel dan gas bumi sebanyak 3,8
trillion cubic feet (TCF) itu masih akan menemui jalan panjang lantaran masih terdapat masa alih kelola sebelum diserahkan ke Pertamina pada 1 Januari 2018 mendatang.
Begitu pun juga dengan pembagian PI 70 persen antara Pertamina dan BUMD Provinsi Kalimantan Timur beserta Pemerintah Daerah Kutai Kartanegara yang menuntut jatah PI 19 persen, lebih besar dibandingkan batas maksimal PI untuk Pemerintah Daerah 10 persen yang ditetapkan Menteri ESDM Sudirman Said.
Sementara manajemen Pertamina sendiri sudah mengakui tidak mampu mengelola Mahakam sendiri karena risiko kegagalannya cukup tinggi.
“Kami sudah pelajari operasionalnya, karena risikonya tinggi sekali. Kami optimis tapi sangat berisiko kalau tiba-tiba sendirian di sana dan tanpa pemikiran berkelanjutan yang panjang," kata Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina awal September lalu.
(gen)