Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) dinilai kurang percaya diri dalam mengelola blok minyak dan gas bumi (migas) dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Keputusan manajemen untuk melibatkan perusahaan asing dalam menggarap proyek migas yang sulit dinilai mengurangi potensi penerimaan negara.
Fahmy Radhi, Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyebut dalam beberapa kesempatan manajemen Pertamina mengklaim mampu mengelola blok migas contohnya seperti Blok Mahakam di Kalimantan Timur. Namun, keputusan tersebut mendadak bisa berubah dengan menggandeng perusahaan lain.
"Pertamina di awalnya memposisikan siap baik dana dan teknologi untuk Blok Mahakam. Setelah diberikan ternyata tidak sanggup, ini berbahaya. Apalagi jika salah menggandeng mitra," kata Fahmy, Rabu (7/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal dengan 95 persen pekerja Blok Mahakam merupakan tenaga lokal, Fahmy menyebut Pertamina seharusnya bisa lebih percaya diri.
"Saya melihatnya ada kesan Pertamina tidak percaya diri, karena sebelumnya tidak pernah diberi kesempatan. Ketika dipercaya Pertamina kaget sehingga tidak siap," tegasnya.
Fahmy mengingatkan karena selama ini Pertamina hampir selalu menggandeng pihak ketiga untuk mengelola blok migas melalui skema
Joint Operating Body (JOB) maupun Kerja Sama Operasional (KSO), ia tidak ingin mitra-mitra yang dipilih Pertamina justru kemudian menyuburkan praktik rente.
"Misal untuk Mahakam paling tepat menggandeng Total tapi dengan tenggat waktu, jika seperti itu Pertamina tidak akan pernah jadi perusahaan besar," tegasnya.
Kegemaran Pertamina menggunakan skema JOB atau KSO membuat keuntungan yang seharusnya didapat Pertamina dibagi sesuai dengan porsi yang telah disepakati bersama. Skema JOB dan KSO di banyak blok migas miliknya, menurut Fahmy sama saja dengan Pertamina menjual sahamnya ke mitra.
“Akibatnya status 100 persen saham Pertamina sebagai BUMN pun patut dipertanyakan,” kata Fahmy.
(gen)