PwC Ingatkan Indonesia akan Risiko Perlambatan Ekonomi China

CNN Indonesia
Selasa, 20 Okt 2015 10:55 WIB
Kejatuhan komoditas diyakini akan berlangsung lama akibat perlambatan ekonomi China dan menguntungkan negara importir, sebaliknya merugikan negara eksportir.
Ilustrasi bendera China. (CNNIndonesia GettyImages)
Jakarta, CNN Indonesia -- PricewaterhouseCoopers (PwC) menyoroti dampak perlambatan ekonomi China terhadap beberapa negara mitra dagangnya di Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia.

Irhoan Tanudiredja, Senior Partner PwC Indonesia memperkirakan kerentanan ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara meningkat menyusul perlambatan ekonomi terbesar kedua di dunia, China.

"Hal ini tidaklah mengejutkan, karena selama 15 tahun terakhir ini, regional ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rantai pasokan produsen Tiongkok," ujar Irhoan melalui keterangan tertulis, Senin (19/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ekonom senior PwC, Richard Boxshall memperkirakan pertumbuhan ekonomi China tidak akan mencapai 7 persen pada tahun ini. Kecenderungannya akan terus melandai pada tahun-tahun berikutnya ke kisaran 5-6 persen dalam jangka menengah.  

"Perlambatan disebabkan sebagian besar oleh menurunnya aktivitas investasi tetap dan melambatnya pertumbuhan ekspor," ujarnya.

Boxshall menduga bank sentral China akan menurunkan suku bunga dan mengatur rasio cadangan modal perbankan guna meredam perlambatan ekonominya.

Secara umum, Boxshall melihat sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara memiliki pengaman fiskal dan eksternal yang cukup untuk mengelola efek negatif dari pemburukan ekonomi China.

Terlebih, lanjutnya, sebagian besar negara-negara Asean telah memiliki sistem nilai tukar yang fleksibel sehingga dapat memitigasi tekanan eksternal.

"Namun, bagi dunia bisnis hal ini dapat menyebabkan terjadinya kembali gejolak nilai tukar jangka pendek yang perlu dikelola," tuturnya.

Konsekuensi lainnya, lanjut Boxshall, harga-harga komoditas akan berada di tingkat yang rendah dalam jangka waktu yang lebih lama. Hal ini akan menguntungkan sejumlah negara pengimpor, tetapi di sisi lain akan merugikan negara pengekspor.

“Secara keseluruhan, kondisi di Tiongkok menimbulkan risiko negatif khususnya bagi negara-negara berkembang, namun akibat negatif tersebut tidak terlalu parah bagi sebagian besar negara maju,” tuturnya menyimpulkan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER