Jakarta, CNN Indonesia -- Berkah (
windfall) harga minyak mentah yang tinggi di atas US$ 100 per barel sudah berlalu beberapa tahun lalu. 2015 bisa dibilang masa yang sulit bagi industri minyak dan gas bumi (migas) akibat harga yang terpangkas lebih dari separuh. Kondisi yang membuat perayaan satu tahun usia pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak lagi berhadiahkan kado harga minyak.
Di tengah upaya perusahaan migas menahan laju penurunan produksi alami atau decline rate, pemerintah juga dihadapkan pada tren pelemahan harga minyak mentah dunia yang saat ini bertengger di level US$ 46,17 per barel untuk benchmark pasar
West Texas Intermediate (WTI) dan US$ 46,17 per barel untuk patokan di pasar
Brent.
Tak ayal, dengan hadirnya dua sentimen negatif tersebut target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 pun terancam. Sebab produk migas merupakan salah satu komoditas unggulan pemerintah dalam menyeimbangkan neraca keuangan negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa waktu lalu Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengungkapkan bahwa realisasi PBNP sektor migas Indonesia pada akhir Juni hanya sebesar Rp 43 triliun. Itu artinya, angka tersebut anjlok lebih dari 50 persen dari realisasi semester I 2014 yang mencapai Rp 87,2 triliun.
Sementara dalam Undang-Undang APBNP 2015 yang disahkan Februari lalu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan target produksi minyak mentah siap jual atau
lifting tahun ini dipatok di angka 825 ribu barel per hari (bph).
Seiring dengan berjalannya waktu, rerata produksi minyak mentah Indonesia (bukan
lifting) secara year to date hingga 4 Oktober 2015 kemarin baru mencapai 783.390 barel bph, atau 5 persen di bawah target yang dipatok.
SKK Migas pun berkilah belum tercapainya target lifting 2015 lebih disebabkan oleh faktor buruknya cuaca di kawasan perairan (
offshore) yang menghambat aktivitas produksi, hingga molornya jadwal pengembangan beberapa ladang minyak unggulan seperti Blok Cepu akibat insiden perusakan yang dilakukan oleh pekerja subkontraktor beberapa waktu lalu.
Bahkan, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi sendiri telah mengisyaratkan bahwa realisasi
lifting minyak Indonesia tahun ini tak akan mencapai target.
“Targetnya kan 825 ribu, sementara outlook diperkirakan itu cuma 812 ribu bph. Jadi kita sudah tahu (kalau
lifting) tidak akan tercapai," kata Amien.
Berharap GasDi tengah sikap pesimistis yang ditunjukkan petinggi SKK Migas tersebut, sebenarnya pemerintah masih memiliki kesempatan untuk menutupi defisit
lifting dari melemahnya harga minyak dan rendahnya angka produksi minyak Indonesia. Satu diantaranya dengan mengoptimalkan
lifting dan penjualan produk gas bumi.
Asal tahu saja, hingga 4 Oktober lalu rerata produksi (bukan
lifting) gas bumi berada di angka 8.030 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Dengan capaian tersebut, artinya terdapat kelebihan produksi sebesar 1.192 MMSCFD dari yang ditargetkan dalam APBNP 2015 pada angka 6.838 MMSCFD.
Ada pun pekerjaan rumah tambahan bagi SKK Migas di sisa 2,5 bulan tersisa adalah bagaimana produksi gas tersebut bisa diserap secara maksimal oleh pasar internasional dan domestik. Pasalnya, dari 78 kargo gas alam cair (
liquefied natural gas/LNG) yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik tahun ini, masih terdapat 20 kargo yang belum terkontrak atau alias
uncommited.
"Kalau ditanya apakah saat ini adalah masa yang sulit bagi industri migas, saya pikir ya. Hanya saja tugas pemerintah yang harus segera dilakukan adalah bagaimana mengamankan penerimaan negara di tengah kondisi seperti ini. Lagi-lagi, pilihannya ada di peningkatan produksi migas hingga memperketat
cost recovery,” ujar Pengamat Energi dari Research Institute for Mining and Energy Economics (Reforminer) Insitute Komaidi Notonegoro.
(gen)