Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja menepati janjinya untuk membatasi ruang gerak perusahaan-perusahaan yang selama ini berjualan gas bumi tanpa memiliki infrastruktur. Caranya adalah dengan memberikan penetapan alokasi gas, hanya kepada perusahaan pemilik infrastruktur.
"Infrastruktur yang pertama. Kalau badan usaha hanya bermodal izin maka secara otomatis dia tidak akan dapat alokasi gas, pokoknya yang memiliki infrastruktur sampai ke pembeli akhir itu yang pertama diprioritaskan," kata Wiratmaja, kemarin.
Ketentuan tersebut menurut Wiratmaja tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi yang diteken Menteri Sudirman Said pada 13 Oktober 2015 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Intinya kami tidak membatasi siapa-siapa badan usaha yang dapat gas. Skala prioritas diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan evaluasi ketersediaan infrastruktur," tegas Wiratmaja.
Ia mengakui bahwa sudah bukan rahasia umum lagi, hampir sebagian besar perusahaan penjual gas bumi di Indonesia tidak memiliki infrastruktur tapi bisa melakukan transaksi jual-beli gas bahkan sampai memiliki alokasi gas bumi. Hal seperti inilah yang menurut Wiratmaja perlu dibenahi, agar pembeli akhir bisa membeli langsung dari perusahaan yang memiliki infrastruktur pipa gas dengan harga yang rendah.
Pada 8 Oktober lalu, Wiratmaja juga mengungkapkan rencana pemerintah memangkas margin perusahaan penjual gas tanpa infrastruktur sebagai bagian dari rencana pemerintah menekan harga jual gas bumi untuk keperluan domestik mulai 1 Januari 2016.
“Dari sisi distribusi dan hilir, kami sedang melakukan kajian dan menyisir satu per satu bagaimana bisa menurunkan harganya. Kami akan atur margin untuk
trader gas yang tidak memiliki fasilitas. Kemudian mengatur
internal rate of return (IRR) gas bumi bagi perusahaan yang punya fasilitas,” kata Wiratmaja ketika itu.
Sementara di sisi hulu, pria yang kerap disapa Wirat tersebut menjelaskan penurunan harga gas akan dilakukan untuk yang sebelumnya memiliki kontrak penjualan senilai US$ 6-US$ 8 per MMBTU dan yang di atas US$ 8 per MMBTU.
“Untuk yang harganya US$ 6-US$ 8 per MMBTU akan diturunkan sampai US$ 1 per MMBTU atau 16,7 persen menjadi minimal US$ 6. Kemudian yang diatas US$ 8 akan diberi pengurangan US$ 1-US$ 2 per MMBTU atau 25 persen. Meskipun penerimaan negara di sektor hulu gas akan berkurang,” katanya.
Ia mengakui kebijakan penurunan harga gas akan memangkas penerimaan negara bukan pajak dari sektor hulu migas sebesar Rp 6 triliun-Rp 13 triliun. Namun, pemerintah berharap bisa mengantongi Pajak Penghasilan (PPh) dari pelaku industri yang bakal meningkat penjualannya sebesar Rp 12 triliun-Rp 24 triliun, serta efek domino dari peningkatan produksi industri nasional Rp 68 triliun-Rp 130 triliun.
Usut KorupsiSementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI ) Boyamin Saiman mendesak penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan bagi-bagi alokasi gas kepada perusahaan penjual gas yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) dan anak usahanya PT Pertamina Gas (Pertagas).
Boyamin menyebut banyak perusahaan gas yang tidak memiliki infrastruktur justru diberikan keistimewaan oleh kedua perusahaan tersebut. Menurutnya, banyak perusahaan penjual gas yang diberikan alokasi gas tersebut sama sekali tidak memiliki bank garansi untuk jaminan.
"Selama ini tidak ada keharusan menyediakan bank garansi, bahkan jika gagal tidak pernah di
black list, tidak pernah diberi pinalti. Justu kemudian selalu diberikan alokasi lagi. Jika seperti itu patut diduga memang terjadi penyimpangan, sekarang ini alokasi-alokasi gas seperti itu makin tidak terkontrol," tegasnya.
Sebelumnya Koordinator Divisi Monitoring dan Analisa Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas juga meminta penegak hukum untuk lebih serius menangani berbagai dugaan penyalahgunaan di sektor migas.
Pasalnya, Firdaus menemukan seringkali para
trader gas hanya berbekal kedekatan politik saja, tanpa memiliki infrastruktur, kemudian tanpa berkeringat, bisa seenaknya mengambil untung dari penjualan gas.
"Sektor energi dalam arti pengembangan yang berindikasi menjadi kasus, masih terbatas. Penegak hukum harus memberi perhatian lebih pada penyimpangan sumber daya alam, termasuk sektor migas. Sayangnya, KPK saja sampai sekarang masih di sisi pencegahan, sementara Kejaksaan dan Kepolisian jauh tertinggal," ujar Firdaus.
Dia mengingatkan, jika distribusi gas dimiliki oleh mereka yang memiliki relasi kekuasaan kuat, bahkan sebagian besar mereka yang ada di partai politik, maka makin susah ada efisiensi.
"Ke konsumen mahal, negara tidak mendapat maksimal. Padahal ini sektor energi primer, ujungnya juga bisa menambah laju inflasi. Industri juga seperti industri baja, petrokimia, keramik dirugikan karena harga gas jadi mahal akibat ulah
trader gas abal abal," tandasnya.
Menteri ESDM Sudirman Said sebelumnya mengatakan, pemerintah saat ini mencatat ada 74 perusahaan
trader gas yang beroperasi di Indonesia.
“Dari jumlah tersebut, hanya 13 perusahaan yang punya infrastruktur selebihnya tidak. Kami harus mencermati ini supaya pasar lebih sehat dan harga lebih transparan,” kata Sudirman.
(gen)