Konsorsium Maritim Sodorkan Opsi FLNG BLok Masela ke Jokowi

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Kamis, 19 Nov 2015 07:21 WIB
Pengembangan Blok Masela dengan fasilitas infrastruktur gas alam darat lebih berisiko terdampak gempa dan tsunami ketimbang infrastruktur gas alam cair terapung
PGN FSRU Lampung (kanan), menerima tambahan pasokan kargo kedua gas LNG (gas alam cair) dari kilang LNG Tangguh Papua di perairan Labuan Maringgai, Lampung, Senin (27/10). (Antara Foto/HO/Usman)
Jakarta, CNN Indonesia -- Konsorsium Maritim, yang beranggotakan pakar dan akademisi, merekomendasikan pengembangan Lapangan Abadi, Blok Masela di Laut Arafura, Maluku dengan skema pembangunan infrastruktur gas alam cair terapung atau Floating LNG (FLNG) kepada Presiden Joko Widodo dan instansi terkait.

Skema FLNG dinilai lebih baik dari aspek keselamatan dan nilai ekonomisnya ketimbang membangun jaringan pipa di atas daratan yang lebih rentan.

"Hasil kajian berbagai aspek baik teknis maupun ekonomis menunjukkan skema FLNG Masela masih lebih baik dibandingkan darat," kata Juru Bicara Konsorsium Maritim, Ketut Buda Artana melalui keteranagn tertulis, Rabu (18/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini menjelaskan, aspek teknis yang dikaji Konsorsium Maritim meliputi keselamatan, olah gerak (seakeeping), penanganan dan proses gas, serta geoteknik dan bencana. Sementara aspek ekonomis mencakup waktu konstruksi, fleksibilitas operasi, investasi, pengaruh terhadap pertumbuhan wilayah dan industri, dan kandungan lokal.

Ia mengatakan, diskusi ditujukan memberi masukan yang obyektif ke pemerintah agar lebih memberi manfaat bagi bangsa dan negara.

"Tidak ada sedikitpun keinginan dari Konsorsium Maritim memperkeruh suasana dan memihak kepada salah satu alternatif teknologi," ujarnya.

Dari aspek keselamatan, Ketut mengatakan, teknologi FLNG sudah memiliki tingkat keselamatan yang bisa diterima. Ia mencontohkan, risiko tabrakan kapal saat proses "ship to ship" LNG sudah teruji dan terbukti aman.

"Aspek safety FLNG sudah countable dan predictable. Kajian kuantitatif dan simulasi memberi gambaran tingkat risiko FLNG saat beroperasi," kata  Ketut Buda Artana.

Dari aspek pembangunan kewilayahan dan pertumbuhan industri, ia menilai baik FLNG maupun darat dapat memberikan dampak yang sama. Intinya, ketersediaan energi akan tergantung dari infrastruktur penerima LNG-nya.  

"Pembangunan wilayah di sekitar Blok Masela seperti Maluku dan NTT tergantung ketersediaan energi di darat. Jaminan pasokan energi tidak tergantung posisi di mana gas diproses dan dicairkan," katanya.

Dosen Teknik Kelautan ITS Kriyo Sambodho mengatakan, Masela merupakan daerah dengan risiko gempa dan tsunami yang tinggi. Menurutnya, pada periode 1900 hingga 2013 tercatat terjadi 2.248 gempa di sekitar Masela.   

Kriyo mengatakan, pengembangan infrastruktur darat Blok Masela dengan opsi membentangkan pipa sepanjang 160 km atau 600 km, akan berbahaya mengingat tingkat ancaman gempa dan longsor yang cukup tinggi di wilayah tersebut.  Selain itu, opsi darat juga lebih rawan terkena tsunami dibandingkan laut.

"Artinya, dengan potensi gempa dan tsunami yang tinggi tersebut, maka opsi FLNG Masela akan lebih baik dibandingkan darat," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Teknologi Kelautan ITS Eko Budi Djatmiko mengatakan, FLNG Masela sudah didesain dengan asumsi risiko hingga ketinggian gelombang laut mencapai 10 meter.

"Jadi, secara teknis, FLNG Masela ini aman sekali," kata.

Selain itu, Budi menilai perubahan kapasitas FLNG Masela dari 2,5 menjadi 7,5 juta ton LNG per tahun akan lebih baik, karena dengan volume kapal yang besar akan memperkecil gerakan kapal.

Tak hanya itu, ia mengatakan keberadaan teknologi penambatan (mooring) kapal yang terus berkembang juga memungkinkan gerakan kapal semakin stabil.

"Fasilitas FLNG akan berada dalam satu kesatuan dibandingkan darat yang terpisah-pisah, sehingga lebih 'safety' di laut," ujarnya.

Ketua Jurusan Teknik Perkapalan Wasis Dwi Aryawan mengatakan, dari sisi kandungan lokal, skema FLNG memberikan dampak 12 persen, sedangkan darat mencapai 45 persen.

"Namun, skema darat yang memiliki fasilitas lebih banyak akan mempunyai risiko teknis yang lebih tinggi dibandingkan laut," katanya.

Menurut dia, kandungan lokal FLNG sebesar 12 persen tersebut sudah cukup tinggi, sesuai dengan konsep negara maritim, dan masih bisa dinaikkan dengan sejumlah upaya pemerintah menjadi 24 persen.

Konsorsium Martim terdiri atas lima entitas yakni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, PT PAL Indonesia (Persero), Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, LHI-BPPT, dan PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero). (ags)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER