Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus D.W. Martowardojo mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 mendatang diperkirakan berada kisaran 5,2 persen hingga 5,6 persen dan akan lebih ditopang dari sisi investasi.
Seiring dengan prediksi tersebut, BI pun menaksir pertumbuhan kredit tahun depan akan menyentuh kisaran 12 hingga 14 persen, dengan asumsi laju inflasi di kisaran 4 plus minus 1 persen dan defisit transaksi berjalan di bawah 3 persen.
Meski begitu, Agus mengungkapkan tahun depan ekonomi Indonesia masih harus menghadapi ketidakpastian perekonomian global. Ia mengatakan setidaknya terdapat tiga risiko utama yang perlu diantisipasi baik oleh otoritas moneter maupun pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Risiko koreksi ini terutama apabila pemulihan ekonomi China dan negara berkembang lain tidak sesuai harapan. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena hingga kini geliat ekonomi China dirasakan masih belum cukup kuat," ujar Agus acara Bankers Dinner di Jakarta Convention Center Senayan, Selasa (24/11).
Walau masih dihantui adanya kekhawatiran pemulihan ekonomi China, Agus meyakini bahwa dalam jangka menengah mulai dari 2017 hingga 2019 pertumbuhan perekonomian diperkirakan 6,0 hingga 6,5 persen.
Sedangkan untuk laju inflasi ditaksir berada pada rentang 3,5 persen plus minus 1 pesen dengan defisit transaksi berjalan diperkirakan 2,5 persen.
"Optimisme ini tidak terlepas dari komitmen kita bersama untuk terus mempercepat dan melaksanakan reformasi struktural secara berkelanjutan, konsisten dan bersinergi antar sektor," tutur Agus.
Kendati demikian, ia tetap meminta sejumlah pihak mewaspadai adanya tiga risiko utama yang perlu diantisipasi baik oleh otoritas moneter maupun pemerintah.
Agus mengungkapkan risiko pertama terkait prospek pertumbuhan ekonomi global yang meskipun diperkirakan akan membaik menjadi 3,5 persen, namun ada risiko proyeksi tersebut lebih rendah.
Kedua mengenai adanya gejolak di pasar keuangan global sebagai dampak dari antisipasi pasar terhadap rencana penaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) dan melambatnya ekonomi China yang akan menekan pasar keuangan domestik.
Ketiga, terkait penurunan harga komoditas yang diperkirakan masih berlanjut pada 2016 sejalan dengan berakhirnya
super-cycle harga komoditas.
"Karena, pengalaman kita di 2015 seperti saat China tiba-tiba mendevaluasi mata uang yuan tanpa diperkirakan sebelumnya," ujar Mantan Menteri Keuangan tersebut.
(dim/dim)