Bagi Kemenperin, Setoran Freeport ke Negara Tak Ada Nilainya

Irene Inriana | CNN Indonesia
Rabu, 02 Des 2015 11:25 WIB
Freeport disebut hanya menyumbang penerimaan negara Rp 200 triliun sejak 1995-2014, sementara industri rokok menyumbang minimal Rp 100 triliun per tahun.
Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin. Freeport disebut hanya menyumbang penerimaan negara Rp 200 triliun sejak 1995-2014, sementara industri rokok menyumbang minimal Rp 100 triliun per tahun. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai setoran PT Freeport Indonesia berupa royalti dan pajak yang dibayarkan ke negara tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan setoran cukai dan pajak yang dibayarkan industri hasil tembakau (IHT).

Direktur Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Kemenperin Faiz Achmad mengatakan industri ini mampu menyumbang penerimaan bagi negara lebih dari Rp 100 triliun pada 2014. Dengan kontribusi sebesar ini, wajar jika industri ini meminta perlindungan dan perhatian dari pemerintah.

"Cukainya rokok ini naik 2009 lalu sebesar Rp 55,38 triliun, sekarang mencapai Rp 112,5 triliun pada 2014," ujar Faiz di Kementerian Pertanian, kemarin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengatakan, besarnya penerimaan negara dari IHT bahkan mampu mengalahkan setoran perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport.

"Bayangkan Freeport itu membanggakan diri dari 1995 sampai 2014 memberikan kontribusi kepada negara Rp 200 triliun. Saya bilang jangan bangga dulu, itu hanya dua tahun setoran dari industri rokok. Mengapa Freeport yang ada kandungan emasnya hanya Rp 200 triliun?” ungkapnya.

Karena itu, lanjut Faiz, pemerintah seharusnya memberikan perhatian yang lebih besar terhadap perkembangan IHT yang jelas-jelas memberikan keuntungan lebih besar bagi negara.

"Tahun 2015 ini akan naik, saya yakin tidak akan mati walaupun dinaikkan tarif cukainya. Saya yakin setorannya tidak akan turun walaupun realisasi produksi rokoknya sudah turun," tandas Faiz.

Ia menilai, jika pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan tidak mendukung IHT yang memproduksi sigaret kretek tangan maka warisan budaya Indonesia bisa hancur.

“Karena itu Kemenperin mati-matian meminta SKT tidak dinaikkan cukainya, biarkan disparitas membesar. Tetapi dengan SKT tidak dinaikkan, itu menjadi benteng terdepan untuk melawan impor rokok ilegal,” ujarnya.

Petani Masih Tertekan

Sementara Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengungkapkan naiknya tarif cukai rerata 11,19 persen mulai 1 Januari 2016 yang seharusnya membuat permintaan tembakau lokal meningkat untuk mengurangi biaya perusahaan rokok mengimpor tembakau justru tidak terjadi.

“Tata niaga yang ada sangat kompleks, dari petani ada pengumpul, ada pedagang kecil, ada pedagang besar, ada graider baru ke pabrik (rokok), petani menerima saja harga yang diberikan oleh pengumpul,” kata Soeseno.

Menurut Soeseno petani hanya diberikan uang tunai sebesar Rp 50 ribu per kilogram (kg), sedangkan 1 kilogram tembakau bisa menghasilkan 69-70 pak rokok, dan nilai tambah dari 70 pak rokok tersebut sebesar Rp 650 ribu.

“Kalo petani menerima Rp 50 ribu dari Rp 700 ribu kira-kira hanya 7 persen, itu masih dikurangi biaya pupuk, tenaga kerja. Itu kecil sekali, sementara pemerintah dari cukai dan pajak daerah bisa menerima sekitar 52 persen. Lebih banyak pemerintah yang menerima dibandingkan petani,” keluh Soeseno.

Meskipun pemerintah menerima 52-60 persen dari total penjualan rokok, nilai yang dikembalikan ke petani hanya sebesar 2 persen sebagai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

“Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau kembali ke petani dan itu keputusannya adalah pimpinan daerah dialokasikan kemana, kalau tidak salah dana bagi hasil dipakai untuk membuat kawasan-kawasan tanpa rokok. Di Lamongan petani protes, karena 60 persen dana bagi hasil digunakan untuk perbaikan rumah sakit alasannya karena banyak yang terpapar asap rokok,” tutur Soeseno.

Ia mengusulkan seharusnya 10 persen dari dana bagi hasil juga diberikan kepada petani untuk memperbaiki mutu, budidaya, dan lain sebagainya. Sehingga petani lokal bisa mensubtitusi tembakau impor. Soeseno juga mengarapkan ketataniagaan bisa diperkecil menjadi tiga bagian saja, sehingga petani bisa lebih sejahtera.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pendapatan negara yang dihasilkan dari cukai rokok terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari Rp 29,17 triliun pada 2004 menjadi Rp 116,28 triliun pada 2014, meningkat empat kali lipat dan memberi andil bagi pendapatan negara. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER