Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menilai payung hukum Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) mendesak dan sangat penting untuk mengatasi kemungkinan terburuk berulangnya krisis keuangan di Indonesia.
Pasalnya, jelas Bambang, siklus terjadinya krisis keuangan pada saat sekarang semakin pendek dan kemunculannya sulit ditebak.
"Sangat
urgent. Artinya kita harus mulai sadar krisis sekarang ini makin pendek jaraknya antara krisis satu dengan yang lain. Kedua makin
unpredictable. Kita tidak punya kemewahan untuk bersantai-santai. Jadi lebih baik Undang-Undang (JPSK) ini ada," ujar Bambang kepada CNNIndonesia.com di rumah dinasnya beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rancangan Undang-Undang (RUU) JPSK sendiri telah diajukan pemerintah ke parlemen sejak lama dan sampai saat ini masih dalam pembahasan. Dalam perkembangan terbaru, terjadi perdebatan di parlemen soal perlunya keterlibatan presiden sebagai penanggungjawab akhir pengambilan kebijakan.
"Memang secara logis, presiden lah logisnya karena ini (penanganan krisis menggunakan) uang negara. Cuma apakah benar-benar presiden sendiri atau presiden boleh mendelegasikan kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK),” tuturnya.
Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menilai jika RUU ini dapat dibahas cepat dan bisa segera disahkan, maka pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam menangani krisis.
Kriteria Bank SistemikBambang menambahkan, baik pemerintah, BI maupun OJK telah bersepakat mengusulkan dana penyelamatan bank sistemik yang bermasalah ke depannya akan menggunakan dana profisi yang disetorkan perbankan. Sebelum itu terjadi, KSSK akan mendorong terlebih dahulu penambahan modal perbankan secara mandiri (
bail in) sebelum menggunakan dana profisi tersebut.
“Kita juga mendorong bail in. Jadi penyelesaian harus dari pemilik modal dulu, tidak sedikit-dikit dilempar ke pihak luar terutama ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),” tuturnya.
Untuk itu, lanjut Bambang, KSSK akan membuat kategori bank-bank sistemik jauh-jauh hari sebelum terjadinya krisis. Data perbankan yang masuk kategori sistemik nantinya akan diperbaharui dan dievaluasi setiap tiga bulan yang hasilnya sebagai dasar peringatan jika ada yang bermasalah.
"Nanti bank-bank yang tergolong bank sistemik itu yang harus punya
surcharge. Dia harus menambah modalnya, misalnya kalau ketentuan CAR-nya (kecukupan modal) 18 persen, maka dia harus lebih. Semua aturan tetap sama, cuma dia harus lebih karena dia sistemik sifatnya,” kata Bambang.
Adapun indikator bank sistemik, jelas Bambang, antara lain keterkaitan dengan lembaga keuangan lain, yang jika terjadi kredit macet atau gagal bayar bisa merembet dampaknya ke perbankan atau asuransi terkait.
"Bank sistemik itu dari awal sudah harus ditetapkan dan tidak boleh menentukan atau menambah bank sistemik ketika krisis. Bank yang tidak masuk bank sistemik ketika krisis ya tutup," ujarnya.
(gen)