Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kardaya Warnika mengkritik pemerintah yang dinilainya lepas tangan dalam menyediakan pendanaan bagi proyek pembangunan kilang baru. Menurut Kardaya, pemerintah seharusnya ikut mengalokasikan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengingat bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan kilang merupakan kebutuhan rakyat.
“Kalau kemandirian energi itu mau diraih maka kilang itu harus dibangun dan pemerintah harus di depan. Bukan Peraturan Presiden (Perpres) yang dibutuhkan Pertamina, yang dibutuhkan itu uang,” kata Kardaya di Kantor Pusat PT Pertamina (Persero), Jakarta, Selasa (15/12).
Saat ini kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 1,6 juta barel per hari (bph). Sementara Pertamina hanya mampu memasok separuhnya, sisanya dipenuhi dengan cara impor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kardaya mengatakan selama ini pekerjaan pembangunan kilang selalu dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan, pembangunan kilang Balongan yang dilakukan di era mantan Presiden Soeharto sudah berorientasi pada ekspor dan tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Kalau kita mengandalkan Pertamina disuruh bekerja sama dengan swasta, lalu dibuatkan Perpresnya itu dulu juga pernah 49 kilang mau dibikin tapi
enggak jalan. Karena selama ini, sejak Republik ini merdeka yang bikin kilang itu bukan Pertamina tetapi pemerintah," ujar mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas).
Kardaya menilai skema ideal pembangunan kilang seharusnya pemerintah yang menyediakan dana dan membangun kilang. Sementara Pertamina baru diserahkan tugas untuk mengelola operasional kilang tersebut setelah selesai dibangun.
US$ 4 Miliar per TahunDirektur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengungkapkan dalam
Refinery Development Master Plan (RDMP) Pertamina hingga 2025, perseroan menargetkan bisa memproduksi 1,9 juta barel minyak ekuivalen per hari pada 2025 dari kemampuannya memproduksi 584.320 barel minyak ekuivalen per hari per Oktober 2015.
Selain itu, Pertamina juga ingin meningkatkan kapasitas kilang mencapai 2,3 juta-2,6 juta bph dalam sepuluh tahun ke depan dari kapasitasnya 880 ribu bph per Oktober 2025.
Untuk merealisasikan target tersebut, Pertamina paling tidak membutuhkan investasi di sektor hulu sekitar US$ 4 miliar per tahun. Dengan kata lain, kebutuhan investasi upstream Pertamina sampai sepuluh tahun ke depan mencapai hampir Rp 600 triliun.
"Per tahun harus berinvestasi kira-kira sekitar US$ 4 miliar. Jadi kira-kira hampir Rp 60 triliun per tahun," ujar Dwi.
Sebagai bagian dari pelaksanaan RMPD, akhir bulan lalu Pertamina telah menandatangani
head of agreement (HoA) dengan Saudi Aramco guna merealisasikan proyek
upgrading Refinery Unit IV Cilacap dengan perkiraan nilai investasi mencapai US$ 5,5 miliar.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja mengungkapkan dalam Perpres percepatan pembangunan kilang telah mengatur skema pembiayaan proyek. Salah satu skemanya, pembangunan kilang dibiayai oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun demikian, dari empat kilang yang ditargetkan dibangun dalam sepuluh tahun ke depan, pemerintah memperkirakan hanya satu kilang yang sepenuhnya dibiayai oleh APBN.
“Dengan dukungan dari Komisi VII DPR, kami dorong pembangunan empat kilang dalam 10 tahun ke depan salah satu kilangnya nanti akan ada yang dibangun dengan dana APBN, kami usahakan," tutur Wiratmaja.