Cerita Darmin Nasution Mengenang Masa 'Bulan Madu' Indonesia

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Jumat, 18 Des 2015 13:45 WIB
Darmin Nasution sudah mengkhawatirkan kerapuhan struktur ekonomi Indonesia dan risiko pembalikan modal asing sejak menjadi Gubernur BI pada periode 2009-2013.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sebelum dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Rabu, 12 Agustus 2015. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia dan negara-negara berkembang di dunia sempat kebanjiran dolar Amerika ketika Negeri Paman Sam dilanda resesi pada 2008. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution ingat betul masa-masa "bulan madu" itu.

"Saya mengingat periode itu karena waktu itu saya menjadi Gubernur Bank Indonesia. Yang namanya dana itu bergelombang-gelombang, datang, dan mendorong rupiah menjadi kuat sekali. Bahkan pernah mencapai Rp 8.500 per dolar. Kenapa? Karena suplai dolarnya datang begitu besar dan terus menerus," kenang Darmin di Tangerang, Kamis (17/12) malam.

Pada era keemasan itu, kata Darmin, dolar yang melimpah membuat pasar keuangan domestik tumbuh pesat. Namun, dibalik berkah tersimpan risiko valas yang dinilai Darmin bisa mnjadi bom waktu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengakui, saat itu Indonesia kewalahan ketika menerima serbuan modal asing. Rupiah yang menguat terlalu jauh pada akhirnya memukul kinerja ekspor Indonesia.

Oleh karena itu, lanjut Darmin, pemerintah dan otoritas moneter harus memutar otak untuk menjaga agar permintaan dan penawaran dolar Amerika seimbang.

"Dalam periode itu kami (BI) bersama dengan Menteri Keuangan sebetulnya sudah menyadari ini tidak boleh terlalu jauh. Karena pada suatu saat dolar AS pergi kita akan menghadapi masalah lagi. Sayangnya, pada saat itu pemerintah juga cukup menikmati suplai dolar yang cukup banyak," jelasnya.

Di sisi lain, Darmin menambahkan, harga komoditas sumber daya alam (SDA) tengah melambung tinggi (booming). Geliat ekonomi China kala itu menjadi pendorong utama tingginya permintaan komoditas di bursa global.

Sayangnya, kata Darmin, Indonesia terlena dengan booming harga komoditas dan berkah terselubung dari resesi Amerika. Upaya untuk mendorong industri manufaktur pun berhenti.

Ancaman yang dikhawatirkan Darmin pun terbukti. Kondisi ekonomi berbalik negatif pada awal 2012 ketika harga komoditas global anjlok.

"Saya ingat siklus naik itu mulai berbalik jadi siklus turun dalam komoditas SDA itu sejak krisis Yunani terjadi, kuartal terakhir tahun 2011. Sejak itu sampai sekarang, yang kita hadapi adalah siklus turun dari hasil-hasil SDA," jelasnya.

Kondisinya semakin parah ketika ekonomi Amerika mulai pulih dan pemerintah mulai menghentikan program stimulus (Quantitative Easing) pada 2013. Ketidakpastian ekonomi global semakin menjadi sejak bank sentral Amerika (The Federal Reserve)memberikan sinyal akan menaikkan suku bunga acuan. Gonjang-ganjing sektor keuangan berlangsung hampir dua tahun mengingat eksekusi kenaikan suku bunga baru dilakukan The Fed pada Rabu (16/12).

Darmin menilai masa-masa "bulan madu" Indonesia sudah berakhir. Hal itu terlihat dari berkurangnya aliran dana asing yang masuk ke dalam negeri.

Terlepas dari ancaman krisis ekonomi menurut Darmin, pemerintah pun kini fokus mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor investasi dan belanja pemerintah. Tak heran menurutnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) era pemerintahan Presiden Joko Widodo pun dirancang seambisius mungkin.

"Secara globalnya. Sebetulnya untuk menjawab situasi demikian, di peringkat pertama yang harus dilakukan adalah mendorong ekspor. Sayangnya tidak ada yang bisa didorong. Karena andalan hasil SDA ini sedang merosot,  industrinya tidak cukup kuat," jelasnya.

Berbagai langkah sudah dilakukan pemerintah dalam paket kebijakan ekonomi. Seperti optimalisasi pembiayaan ekspor untuk perusahaan dalam negeri. Meskipun seharusnya harus didorong lagi dengan promosi produk ke berbagai belahan dunia.

Kendati demikian ia optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan bisa mencapai 5,3 persen.

"Tahun depan APBN menggariskan 5,3 persen. Itu hanya bisa kalau investasinya berjalan, kalau ekspor bagus mungkin 5,3 persen bisa tercapai," ujar Mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut.

(ags/gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER