Asmindo Minta Sertifikasi SVLK Usaha Mebel Kecil Dipermudah

CNN Indonesia
Kamis, 28 Jan 2016 18:07 WIB
Kemudahan sertifikasi yang diusulkan Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan mulai dari tarif yang lebih rendah sampai waktu pengurusan dipersingkat.
Menteri Perindustrian Saleh Husin mengamati proses produksi furnitur didampingi advisor PT Rakabu Sejahtera, Mahmud Nurwindu di pabrik mebel milik Rakabu Sejahtera di Sragen, Solo Raya, Jawa Tengah, Kamis (11/6/2015). (Dok. Kementerian Perindustrian).
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) menginginkan usaha mebel berskala Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk bisa mendapatkan sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan lebih mudah.

Untuk itu, Ketua Umum Asmindo Taufik Gani berharap kewajiban SLVK bisa diberlakukan kembali agar perusahaan mebel UKM mau mengurus sertifikasi SVLK. Hingga saat ini, UKM tak mau melakukannya karena SVLK tak bersifat wajib, seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89 tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan.

Di dalam beleid tersebut dijelaskan kalau 15 pos tarif produk kehutanan sudah tidak lagi diwajibkan menggunakan SVLK. Hal ini sangat disayangkan Taufik mengingat sertifikasi merupakan salah satu syarat utama agar produk kayu bisa tembus pasar ekspor, khususnya Uni Eropa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sertifikasi ini penting karena kadang ada pembeli yang mensyaratkan kewajiban tersebut. Selain itu pengakuan internasional untuk SVLK itu tidak mudah dicapai. Namun, karena adanya Permendag ini semangat UKM untuk mengajukan SVLK juga kendor," ujar Taufik di Jakarta, Kamis (28/1).

Lebih lanjut, ia mengatakan kalau UKM lebih baik melakukan sertifikasi SVLK daripada melakukan sertifikasi legalitas kayu di negara tujuan ekspor. Pasalnya, biaya sertifikasi di negara tujuan akan lebih mahal dan akan sangat membebani.

"Bisa saja nanti kalau mereka diwajibkan sertifikasi, nanti malah ada lembaga non pemerintah (Non-Government Organization/NGO) di luar negeri membuat sertifikasi seperti Forest Stewardship Council (FSC), itu biayanya ratusan juta," tuturnya.

Atas dasar itu, Asmindo meminta pemerintah untuk kembali mewajibkan SVLK, terlebih pada tahun ini asosiasi menargetkan pertumbuhan nilai ekspor mebel sebesar 10 persen.

Namun, bukan berarti implementasi SVLK tak luput dari kritik. Wakil Ketua Umum Asmindo Rudy Luwia mengatakan kalau pemerintah perlu membuat aturan terkait batas biaya pembuatan SVLK agar UKM termotivasi melakukan sertifikasi. Namun, ia tidak mengatakan berapa besaran penurunan tarif ideal dari angka saat ini sebesar Rp 20 juta.

"Kami harapkan harganya bisa lebih murah lagi untung mendorong UKM. Saat ini, 98 persen anggota kami memang sudah memiliki SVLK, namun 2 persen sisanya tidak mengajukan SVLK karena skalanya masih UKM yang merasa pengajuan SVLK masih kemahalan," terangnya di lokasi yang sama.

Selain itu, ia meminta pemerintah untuk mengurangi waktu proses SVLK. "Masalah lama atau tidaknya proses SVLK itu sebenarnya tergantung perusahaannya, siap atau tidak dokumen yang dimilikinya. Tapi kalau ini dipersingkat, akan lebih baik lagi," jelasnya.

Menurut data Kementerian Perdagangan, ekspor kayu dan produk kayu pada 2014 tercatat US$4,07 miliar atau meningkat 12,12 persen dibanding tahun sebelumnya dengan nilai US$3,63 miliar. Ekspor produk mebel sendiri bernilai US$1,8 miliar, atau 44,2 persen dari ekspor produk kayu.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER