Jakarta, CNN Indonesia -- Kejatuhan harga minyak dinilai belum juga berakhir. Perusahaan finansial asal AS, Goldman Sachs menyatakan kembali melonjaknya harga minyak mentah pada akhir Januari lalu di atas US$34 per barel adalah kepalsuan belaka.
Seperti dikutip dari
CNNMoney, perusahaan elit Wall Street ini percaya harga minyak tengah bersiap untuk terjun ke posisi terendah baru di bawah US$26 per barel, meskipun terdapat pembicaraan dari organisasi pengekspor minyak (OPEC) untuk menyelamatkan harga dengan mengurangi tingkat produksi.
"Ini mungkin sudah terlalu terlambat bagi para produsen di OPEC untuk dapat mencegah penurunan besar lainnya dalam harga minyak," tulis analis Goldman dalam laporan penelitian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Goldman merujuk fakta bahwa akan memakan waktu yang terlalu lama untuk memberlakukan pemotongan produksi tersebut, sedangkan stok minyak di seluruh dunia mengalami pembengkakan.
Adapun skeptisisme dari Goldman dan pengamat minyak lainnya telah membuat harga minyak mentah amblas 6 persen pada hari Senin ke sekitar level US$31,75 per barel.
Di sisi lain, kejatuhan harga minyak akan menjadi kabar baik bagi para pengguna kendaraan di Amerika, yang terus menonton penurunan harga. Saat ini, harga rata-rata satu galon bensin di AS turun menjadi US$1,79 pada hari Senin, dari US$2,06 pada tahun lalu.
Namun, jika harga minyak jatuh lebih jauh, terdapat kemungkinan adanya kepanikan di Wall Street yang selanjutnya bisa menghantam portofolio investasi Amerika. Investor telah terobsesi dengan minyak akhir-akhir ini, dimana harga saham yang bergerak hampir sejalan dengan penurunan harga minyak mentah.
Meskipun minyak murah seharusnya menjadi positif secara keseluruhan untuk AS, investor telah berfokus pada kelemahan, termasuk penyusutan keuntungan bagi perusahaan energi, kebangkrutan perusahaan minyak dan masalah di pasar negara berkembang seperti Brasil.
Harga minyak dan pasar saham telah meningkat tajam sejak 20 Januari. Dalam minggu terakhir, harga minyak naik sampai setinggi US$34,82 per barel, naik luar biasa 33 persen dari level rendah baru-baru ini di US$26,19.
Penaikan ini sebagian didorong oleh harapan bahwa anggota OPEC akan mengadakan pertemuan darurat dan setuju untuk memangkas produksi secara terkoordinasi. Rusia menguatkan rencana tersebut, ketika menteri energi mengatakan OPEC dan produsen non-OPEC mempertimbangkan 5 persen penurunan produksi.
Seorang sumber OPEC dari negara teluk mengatakan kepada
CNN pada pekan lalu bahwa produsen regional "bersedia melakukan apa pun untuk menstabilkan pasar" dan "semua pilihan terbuka."
Komentar tersebut mensinyalkan perubahan rencana dari Arab Saudi, produsen OPEC yang kuat, yang telah lama menolak pemotongan produksi demi keinginan untuk menghindari hilangnya pangsa pasar lebih lanjut ke AS.
Tapi Goldman tidak menggubris pembicaraan OPEC tersebut.
"Kami terus melihat pemangkasan produksi yang terkoordinasi adalah sangat tidak mungkin dan akhirnya merugikan diri sendiri," tulis Goldman dalam laporan.
(gir/gen)