Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) akan menggelar rapat bulanan untuk menentukan suku bunga acuan (BI rate) pada 17-18 Februari 2016. Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri meminta Agus Martowardojo dan deputi-deputinya untuk berani menurunkan suku bunga lebih dari 25 basis poin, alias lebih besar dibandingkan penurunan suku bunga yang dilakukan pada Januari lalu.
“Rapat bulanan itu hampir bisa dipastikan bakal menurunkan BI rate, yang ditunggu seberapa besar penurunannya. Kalau BI bersikukuh dengan konservatismenya, penurunan paling banter hanya 25 basis poin seperti bulan lalu,” kata Faisal dalam riset, dikutip Senin (15/2).
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) itu mengaku memiliki sejumlah catatan untuk memperkuat alasan mengapa BI harus lebih dalam menurunkan suku bunga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, Faisal menyebut laju inflasi menunjukkan kecenderungan menurun. Termasuk tingkat inflasi Februari (year-on-year) yang diperkirakan turun. Ia meyakini pengaruh imported inflation sangat tidak berarti, bahkan sebaliknya berpotensi menyumbang bagi penurunan inflasi.
“Sangat ironis kalau kita tidak bisa memanfaatkan tren inflasi dunia yang sangat rendah akibat kemerosotan harga seluruh jenis komoditas. Singapura dan Thailand sudah deflasi. Sementara inflasi Vietnam hanya 0,6 persen. Kalau inflasi Indonesia tertinggi di ASEAN-6, niscaya ada yang salah harus segera dibenahi,” ujarnya.
Kedua, ia mengatakan Dewan Gubernur BI tidak memiliki alasan untuk takut terhadap kenaikan suku bunga bank sentral Amerika, setidaknya sampai April atau bahkan Juni. Pasalnya sudah muncul wacana di Amerika tentang kemungkinan The Fed menerapkan suku bunga negatif, setidaknya sudah mengingatkan bank komersial Amerika untuk melakukan stress test kalau mereka menghadapi kemungkinan suku bunga negatif.
“Karena itu kemungkinan modal akan lari dari Indonesia relatif sangat kecil karena suku bunga riil obligasi Indonesia jauh lebih tinggi dari negara-negara maju. Bahkan, perbedaan suku bunga yang cukup tinggi itu mendorong modal asing masuk,” jelasnya.
Alasan ketiga, yang menurut Faisal menjadi pendorong BI rate harus turun banyak adalah harga bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini kerap menjadi momok untuk membuat kebijakan untuk sementara waktu sirna. Ia menyebut Bank Dunia baru saja memotong prediksi harga minyak menjadi hanya US$37 per barel untuk 2016.
“Risiko kenaikan harga BBM di dalam negeri hampir nihil, bahkan seharusnya harga BBM turun dari tingkat sekarang. Harga BBM di Indonesia sudah teramat mahal jika dibandingkan dengan Malaysia,” kata Faisal.
Bantu PemerintahDi tengah upaya pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui proyek-proyek infrastruktur dan menggaet investasi lebih besar dengan mempermudah prosedur investasi dan merilis daftar negatif investasi (DNI) terbaru, Faisal menyebut sudah waktunya BI ikut membantu pemerintah.
“Ingat angka pengangguran sudah naik. Kita tidak memiliki keleluasaan mendorong terus kebijakan fiskal yang ekspansif karena basis pajak masih sangat rendah dan dunia usaha butuh waktu untuk konsolidasi,” jelasnya.
(gen)