Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengeluhkan kredibilitas Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) yang diterbitkan pemerintah Indonesia di skala internasional. Pasalnya kendati sudah mengantongi sertifikat SVLK dengan mencantumkan dokumen V-legal, Uni Eropa masih memberlakukan uji tuntas (
due diligence) atas produk ekspor kayu dan olahan termasuk bubur kayu (pulp) dan kertas asal Indonesia sebelum diizinkan beredar di sana.
Direktur Eksekutif APKI Liana Bratasida mengungkapkan kredibilitas SVLK diragukan akibat penerapannya dianggap tidak konsisten. Sedianya, SVLK merupakan syarat wajib ekspor produk kehutanan per 1 Januari 2016. Namun, rencana itu batal pasca terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan.
Aturan teranyar itu memungkinkan pelaku usaha tidak lagi wajib menyertakan V-Legal untuk 15 pos tarif produk industri hilir, salah satunya produk mebel. Hal itu dilakukan untuk melindungi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Dalam hal ini, kata kuncinya menurut saya adalah trust, rasa kepercayaan menjadi berkurang. Hal ini menjadi penting, anggota kami yang sudah mempunyai sertifikat SVLK akhirnya waktu ekspor ke Uni Eropa terkena uji tuntas," ujar Liana dalam diskusi yang berjudul "Tantangan Era Standarisasi dalam Mendorong Ekspor Industri Hasil Hutan" di Jakarta, Senin (7/3).
Uji tuntas, lanjut Liana, memakan waktu dan biaya. Disebutkannya, uji tuntas memakan biaya sekitar US$2.500 hingga US$3 ribu setiap kali pengiriman ekspor kayu maupun olahannya. Sementara, pelaku usaha juga harus mengeluarkan biaya untuk memperoleh V-legal.
“Tentu menjadi pertanyaan besar apa sertifikat (V-legal) itu tidak dipercaya lagi oleh UE sehingga kita tetap uji tuntas,” ujarnya.
Padahal, menurut Liana, pengakuan Uni Eropa atas SVLK merupakan hal penting. Pasalnya, Uni Eropa merupakan barometer bagi negara lain.
“Kalau kita ada masalah dengan Uni Eropa, negara lain seperti Australia dan Kanada juga ikut-ikutan. Kalau Uni Eropa tidak mau menerima (SVLK), negara lain juga tidak mau menerima,” ujarnya.
Liani berharap pemerintah bersedia kembali merevisi Permendag Nomor 89 Tahun 2015 dengan tidak lagi memberikan pengecualian kewajiban SVLK pada produk hilir hasil hutan.
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawady mengungkapkan pemerintah pada dasarnya menyetujui implementasi SVLK. Namun, pemerintah tidak ingin memberatkan pelaku UKM.
“Apapun Permendag dan itu keputusan pemerintah yang sudah dibahas secara mendalam,” ujarnya.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) Rufi'ie mengungkapkan sertifikat V-legal dikeluarkan oleh lembaga independen untuk menjamin legalitas kayu Indonesia dan pemanfaatannya. Penerapannya ditetapkan sebagai sebuah kebjakan sejak 2009 melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.38 Tahun 2009 jo Permenhut P.95 Tahun 2014.
Kementerian LHK, lanjut Rufi’ie, tahun lalu menganggarkan sekitar Rp33,4 miliar untuk memfasilitasi UKM untuk bisa mendapatkan sertifikat V-legal yang memakan biaya sekitar Rp26 juta per sertifikat dan berlaku selama enam tahun. Mengingat mahalnya sertifikat itu, pemerintah memberikan kemudahan dengan mengizinkan satu sertifikat dimiliki oleh lima hingga sepuluh pelaku usaha kecil.
Sebagai informasi, berdasarkan data Kementerian LHK nilai ekspor produk perkayuan yang menggunakan dokumen V-legal tahun lalu mencapai US$9,86 miliar atau naik 49.39 persen dari tahun sebelumnya US$6,6 miliar.