Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas kelanjutan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), yang kini telah mengalami perubahan nama menjadi Pencegahan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPSK).
Dalam rapat kerja antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan Komisi XI DPR, Kamis (10/3), Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menjelaskan usulan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terkait penghapusan beberapa pasal dalam beleid RUU yang mengimplikasikan penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membantu penanganan bank dalam menghadapi krisis keuangan.
Pasal yang dihapus di antaranya adalah pasal 39 yang mengatur soal pemberian jaminan dan pinjaman oleh pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) saat bank mengalami kesulitan likuiditas ketika kondisi krisis sistem keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian adalah terkait dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki LPS oleh Bank Indonesia (BI). Termasuk juga pembelian SBN yang diterbitkan pemerintah untuk kebutuhan pinjaman kepada LPS.
"Ada penjelasan umum di paragraf 6. Bunyinya, dukungan negara hanya dapat dilakukan dalam kondisi krisis keuangan melalui dukungan pendanaan kepada LPS jika dana kelolaan tidak mencukupi. Kalimat itu akan dihapus sebagai konsekuensi jaga eksposur APBN," ujar Bambang di DPR, kemarin malam.
Menurut Bambang dalam revisi sejumlah pasal yang tertuang, diupayakan krisis keuangan dicegah sedini mungkin melalui sistem
bail in. Berbeda dengan sistem
bail out yang pernah diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya.
Melalui sistem
bail in, perbankan yang terindikasi hampir krisis harus ditanggung sendiri oleh manajemen bank. Nantinya, melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang direncanakan terbit, perbankan diwajibkan meningkatan rasio modalnya jika ditemukan tanda-tanda likuiditas yang tidak sehat oleh otoritas perbankan.
Hal ini berbeda dengan sistem
bail out yang dimana pada saat itu pemerintah dimungkinkan mengucurkan dana APBN untuk membantu bank yang kesulitan likuiditas dan hampir kolaps.
"Kenapa
bail in? karena banyak pengalaman
bail out yang tidak berujung baik, yang ujung-ujungnya memberatkan APBN," kata Bambang.
Selanjutnya, jelas Bambang KSSK juga mengusulkan revisi pasal 5 B dan C yang menyebutkan Komite KSSK berhak menetapkan kondisi krisis keuangan.
Dalam kondisi yang sangat darurat, maka akan dilakukan rapat Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden. Presiden yang akan memutuskan langkah selanjutnya.
"Kalau kondisinya sudah begitu berat tentunya ketika presiden menetapkan langkah penanganan krisis tentunya sudah disiapkan hal-hal yang ditentukan. Memang presiden tentunya punya kewenangan untuk mengambil langkah diperlukan saat kondisi darurat. Presiden bisa menolak atau menerima," kata Bambang.
Namun usulan-usulan tersebut belum difinalkan oleh pemerintah dan parlemen. Rapat pembahasan RUU PPSK dijadwalkan masih akan dilakukan pada Jumat (11/3).
(gen)