Jakarta, CNN Indonesia -- Permintaan para bankir agar pemerintah juga memangkas tingkat bunga (
coupon rate) obligasi berbentuk surat berharga negara (SBN) bakal sulit dipenuhi. Padahal, syarat tersebut diminta oleh sejumlah bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk bisa menekan suku bunga kredit sesuai instruksi pemerintah.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Scenaider Siahaan mengatakan salah satu alasan pemerintah sulit untuk memenuhi permintaan bankir tersebut adalah kebijakan normalisasi moneter Bank Sentral Amerika The Federal Reserve.
Pemerintah menurutnya tidak bisa sembarangan menurunkan tingkat bunga bagi SUN dengan tenor 5-10 tahun karena akan membuatnya menjadi tidak menarik bagi investor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risiko tersebut masih tercium pada hasil lelang empat seri SUN yang diselenggarakan pemerintah pada Selasa (29/3) dimana ada kelebihan penawaran dari investor.
Dari total penawaran yang masuk sebesar Rp 16,0468 triliun, pemerintah akhirnya menerbitkan total SUN senilai Rp10 triliun, dengan tenor bervariasi sekitar 1 tahun
yield 6,39 persen, 10 tahun dengan
yield 7,86 persen, 15 tahun dengan
yield 8,30 persen dan 20 tahun dengan
yield 8,31 persen.
Scenaider mengatakan keputusan pemerintah unutk menyerap Rp10 triliun dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan dengan nilai imbal hasil (
yield) yang masih wajar, pasalnya pada lelang kali ini banyak peserta lelang yang menaruh penawaran pada
yield yang tinggi.
"Sepertinya investor antisipasi kenaikan Fed
rate. Ada anggota FOMC yang bilang kemungkinan Fed
Fund Rate akan naik April mendatang jika data ekonomi Amerika bagus, kalau Fed
Rate naik mungkin akan berpengaruh ke
yield SUN," ujar Scenaider kepada CNNIndonesia.com, kemarin.
Coupon rate merupakan tingkat bunga tetap selama masa berlakunya surat utang. Sedangkan
yield memperhitungkan tingkat bunga obligasi yang dihubungkan dengan harga, dengan selisih harga penjualan terhadap nilai
par, serta dengan tahun-tahun tersisa hingga obligasi tersebut jatuh tempo.
Menurut Scenaider,
yield SBN terbentuk berdasarkan mekanisme pasar yang dipengaruhi oleh ekspektasi investor terhadap kondisi perekonomian tanah air saat ini. Kondisi yang stabil dan aman, dianggap mampu mendorong penurunan
yield ke bawah 7 persen.
"
Yield sangat dipengaruhi
confidence investor terhadap ekonomi Indonesia," ujarnya.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, obligasi negara Indonesia bertenor 10 tahun yang diperdagangkan pada 28 Maret 2016 memiliki rata-rata
yield sebesar 8,06 persen.
Yield ini jauh lebih tinggi dari U.S. Treasury yang diperdagangkan pada hari yang sama sebesar 1,89 persen.
Sementara itu Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handi Yunianto mengungkapkan rata-rata
yield yang dimenangkan oleh pemerintah masih wajar atau masih sesuai dengan kisaran perkiraan Mandiri Sekuritas.
Dengan ekspektasi bahwa BI rate masih akan turun terbatas, dan
yield U.S. Treasury tidak akan naik signifikan, Handi melihat ada peluang
yield tenor 10 tahun bisa turun mencapai 7,5 persen tahun ini.
"Kami masih perkirakan U.S. Treasury
yield tidak akan naik signifikan karena secara global suku bunganya masih banyak yang negatif dan tekanan ke inflasi belum signifikan, maka kami masih melihat ada potensi
yield SUN untuk turun," ujar Handi saat dihubungi.
Namun keinginan pemerintah agar yield bisa turun di bawah 7 persen akan menjadi tidak optimal apabila tidak diimbangi dengan perbaikan fundamental, seperti upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas inflasi.
"Tapi membuat kebijakan yang bisa menarik dana asing masuk tentunya akan positif," katanya.
Namun, The Fed bukanlah satu-satunya risiko yang harus dihadapi oleh pasar SBN. Pertumbuhan ekonomi China yang diprediksi di bawah 6 persen serta banyaknya obligasi atau kredit perusahaan-perusahaan minyak yang default akibat anjloknya harga komoditas bisa menimbukkan sentimen negatif ke pasar.
"Sementara dari domestik, mungkin kekhawatiran
crowding out effect apabila pemerintah harus
issue lebih banyak lagi obligasi untuk menutup peningkatan defisit anggaran, jika terjadi penurunan pendapatan pemerintah yang signifikan," jelasnya.
Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan,
coupon rate SUN perlu diturunkan, dari sekitar 8 persen untuk tenor 5-10 tahun saat ini.
Penurunan bunga SUN itu perlu dilakukan, mengingat saat ini Indonesia masih kalah saing dengan negara lain, termasuk Vietnam.
"Terlalu banyak kepemilikan asing di SUN juga akan memberatkan beban bunga utang dalam APBN dan rawan kalau terjadi
sudden reversal (pembalikan modal keluar). Namun, di sisi lain, bunga deposito yang masih tinggi di kisaran 8 persen dan
risk appetite yang masih rendah membuat investor sulit mendiversifikasi portofolio asetnya. Kalau nggak ada pendalaman pasar, sulit ada diversifikasi,” kata Bambang Brodjonegoro di Jakarta, (18/2) lalu.
Beberapa waktu lalu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Achmad Baiquni menilai upaya menurunkan suku bunga kredit di Indonesia tidak bisa hanya dilakukan oleh kalangan perbankan. Pemerintah juga diminta berkontribusi mendorong pemangkasan suku bunga kredit tahun ini.
Salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah untuk menurunan suku bunga pinjaman adalah dengan menurunkan kupon atau
rate obligasi jangka panjang.
“Artinya, kalau pemerintah mengeluarkan obligasi dengan
rate yang tinggi itu kan berarti mempengaruhi suku bunga deposito juga yang kita tawarkan,” ujar Achmad.
Menurutnya, bunga kredit sangat dipengaruhi oleh besaran biaya dana (
cost of fund) yang komponennya terdiri dari bunga pinjaman, biaya
overhead, hingga premi risiko.
(gen)