Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Provinsi Jambi kembali memperingatkan 11 perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya yang belum mengantongi sertifikat Indonesia
Sustainable Palm Oil (ISPO). Padahal, pemerintah telah tiga kali melayangkan surat peringatan agar pemilik perusahaan yang bersangkutan segera mengurus sertifikat untuk dapat melanjutkan ekspor.
Budidaya, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi mencatat jumlah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di wilayahnya ada sebanyak 38 perusahaan. Setengah diantaranya rutin melakukan kegiatan ekspor, namun hanya delapan perusahaan saja yang telah mengantongi ISPO.
"Sudah kami peringatkan sampai tiga kali, jika hingga bulan depan 11 perusahaan tersebut tidak juga memiliki sertifikat maka mereka tidak boleh ekspor," kata Budidaya, dikutip dari Kantor Berita Antara, Rabu (6/4). Sayangnya, Budidaya tidak menyebutkan daftar perusahaan-perusahaan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menilai, begitu banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan kelapa sawit untuk memperoleh ISPO menjadi alasan utama manajemen perusahaan malas mengurus sertifikat tersebut. Hal itu menurutnya sudah disampaikan Pemerintah Provinsi kepada Kementerian Pertanian sebagai wakil Pemerintah Pusat.
“Tapi paling tidak kami ingin mereka mendaftar dulu dan mengajukan persyaratannya dulu, sebab sertifikat ISPO ini sangat penting. Karena Eropa tidak mau lagi membeli minyak kelapa sawit (CPO) dari perusahaan perkebunan yang tidak memiliki sertifikat," ujar Budidaya.
Pemerintah Provinsi Jambi mencatat, saat ini hanya China dan India yang belum mensyaratkan CPO yang dibelinya harus berasal dari perusahaan pemegang sertifikat. Namun, ke depannya sangat besar kemungkinan kedua negara itu akan memperketat persyaratan impor CPO seperti yang dilakukan Amerika dan negara-negara Uni Eropa.
Larang IPOPSebelumnya Kementerian Pertanian meminta lima perusahaan sawit besar Indonesia melepaskan diri dari kesepakatan Indonesia
Palm Oil Pledge (IPOP) dan lebih mengedepankan ISPO. Pasalnya, kriteria pengelolaan sawit dalam perjanjian tersebut menimbulkan kerugian bagi petani kelapa sawit.
“Saya sudah izin dengan Pak Menteri Pertanian Amran Sulaiman supaya saya dapat menyatakan statement ‘Bubarkan IPOP’. Kalau perusahaan itu masih tetap di IPOP lebih baik keluar dari Indonesia ini,” tutur Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Gamal Nasir, Februari lalu.
Sebelumnya, perjanjian IPOP disepakati oleh lima raksasa perusahaan sawit Indonesia pada September 2014 lalu yaitu Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Golden Agri Resources, Musim Mas, dan Asian Agri. Kesepakatan itu merupakan komitmen kelima perusahaan dalam menciptakan praktik industri kelapa sawit yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Beberapa kriteria praktik industri sawit yang diatur diantaranya kebun sawit bebas deforestasi (
no deforestation), kebun sawit tidak di lahan gambut (
no peatland), kebun sawit tidak di lahan yang berkarbon tinggi (
High Carbon Stock (HCS), serta rantai pasok yang bisa dilacak (
traceability). Implementasi kriteria tersebut dilakukan sejak awal 2015.
Menurut Gamal implikasi dari kesepakatan itu adalah kelima perusahaan dilarang menampung tandan buah segar (TBS) dari petani maupun CPO dari kebun sawit yang tidak memenuhi kriteria IPOP.
Hal itu, lanjut Gamal, merugikan petani swadaya sawit Indonesia. Pasalnya, saat ini masih banyak petani yang menanam di lahan gambut dan marginal. Sementara, luasan lahan perkebunan sawit yang dikelola petani swadaya hampir separuh dari total luas areal perkebunan kelapa sawit di Indoenesia, 10,5 juta hektare.
“Jika sampai kelima perusahaan tersebut benar-benar menolak TBS milik petani karena melanggar aturan dari IPOP, hal ini sama saja IPOP telah menyengsarakan petani,” ujarnya.
(gen)