Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah menilai pengusaha dalam negeri belum memaksimalkan benefit dari 11 paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah sejak beberapa waktu lalu.
Hal ini terlihat dari masih minimnya repons pelaku usaha yang tak sejalan dengan ekpetasi dan target pemerintah.
"Ini yang menjadi pertanyaan pemerintah, kenapa respon dari pengusaha tidak terlalu signifikan. Padahal, sudah 11 paket kebijakan yang dikeluarkan dan didongkrak juga dengan pembangunan infrastruktur," kata Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Eddy Putra Irawady di Palembang, Senin (18/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guna mengoptimalkan paket kebijakan, Eddy bilang pemerintah sendiri akan mengecek langsung upaya koordinasi bersama pemerintah kabupaten/kota mengenai implementasi dari paket kebijakan tersebut.
Diantaranya perihal mekanisme pembuatan izin hingga penyaluran Kredit Usaha Rakyat untuk pelaku usaha kecil menengah (UKM).
Pun upaya ini dilakukan agar pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tren meningkat sejak triwulan IV 2015 dapat terjaga pada tahun ini lantaran pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,1 hingga 5,3 persen.
Selain itu, kata dia untuk jangka panjang pemerintah juga berkeinginan pertumbuhan sektor industri terdongkrak naik karena terus tergerus dalam dua dekade terakhir yakni hanya mampu tumbuh dikisaran 4 hingga 5 persen pada 2015.
Padahal, Indonesia diketahui sempat mengalami masa keemasan industri pada tahun 1994 yakni sektor nonmigas mengalami pertumbuhan 11 persen dan manufaktur 10,24 persen.
"Lantas bagaimana supaya Indonesia kembali ke tahun 1994, maka perlu adanya pembenahan di sektor industri. Apa-apa yang menghambat selama ini harus dibenahi, dan salah satunya melalui paket kebijakan," kata dia.
Selain mendorong dari sisi regulasi, upaya tersebut juga dimaksudkan agar industri dalam negeri dapat ditompang dengan rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khsusus, pembangunan pusat logistik, dan sejumlah kawasan industri baru, termasuk melirik sektor wisata untuk tambahan devisa negara.
Namun, lantaran penyakit di bidang industri sudah menahun, maka tidak dapat dilakukan dengan cepat, contohnya perbaikan tata kelola perizinan usaha.
"Iklim investasi dan perdangangan Indonesia itu penuh ketidakpastian dan terlalu mahal. Jadi yang ada saat ini, banyak investor yang sudah masuk ke Indonesia masih menunda realisasi penanaman modalnya atau hanya membeli perusahaan yang ada. Perlu upaya serius untuk membenahi penyakit yang sudah berkarat ini," tandas Eddy.
(dim/dim)