Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menilai kebijakan penurunan harga gas bumi bagi industri yang tercantum di dalam Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 sangat membingungkan. Bahkan, asosiasi menilai peraturan tersebut terkesan tidak solutif.
Ketua Umum Asaki Elisa Sinaga merujuk pada pasal 2 peraturan tersebut, di mana tertulis Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menentukan harga gas bumi baru yang dalam kontrak sebelumnya lebih tinggi dari US$6 per MMBTU. Menurutnya, seharusnya Pemerintah langsung saja menuliskan harga terbaru bagi industri tanpa harus membuat peraturan turunan lagi terkait hal itu.
"Apalagi ini peraturan sudah kami tunggu lama sekali, ternyata hasil keluarnya seperti ini. Hanya
basic saja dan masih butuh beberapa peraturan turunan," jelas Elisa kepada CNNIndonesia.com, Kamis (19/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melanjutkan, sebetulnya pelaku usaha pengguna gas bumi dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah merumuskan harga gas yang efisien bagi industri namun juga tidak merugikan penerimaan negara. Keputusan bersama itu sudah tertuang di dalam surat yang dikirimkan Kemenperin kepada Kementerian ESDM pada 11 November 2015.
Melalui surat tersebut, pengusaha dan Kemenperin mengusulkan harga ideal gas yang dibeli oleh industri adalah sebesar US$ 7,18 per MMBTU di wilayah Jawa dan US$ 8,9 per MMBTU di Sumatera Utara. Dengan tidak diterimanya usulan bersama Kemenperin dan pelaku usaha ini, Elisa merasa pendapat pelaku usaha diacuhkan oleh Pemerintah.
"Malah menurut kami usulan kami itu lebih solutif. Jelas angka gasnya jadi berapa, tanpa perlu ada peraturan turunan lagi. Apalagi di peraturan juga disebut nanti selisih harga gas bagi industri dan harga keekonomian akan ditutup dari penerimaan negara, padahal kami dulu mengusulkan harga yang
win-win. Penerimaan negara aman dan kami juga aman berproduksi," terangnya.
Berlaku SurutSelain dibutuhkan peraturan turunan untuk harga, ia menyayangkan mekanisme ketentuan berlaku surut yang juga tidak jelas dan kemungkinan diperlukan peraturan turunan tambahan untuk itu. Gara-gara banyaknya peraturan turunan yang perlu diterbitkan, ia khawatir implementasi penurunan harga gas bagi industri akan semakin molor.
"Padahal usulan kami yang awal itu sudah kami rumuskan selama enam bulan. Tenyata Pemerintah hasil jadinya seperti ini," ungkap Elisa.
Apalagi, tambahnya, pengaturan harga itu hanya berlaku bagi gas yang dibeli oleh badan usaha gas dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan tidak mencakup penurunan biaya distribusi yang dibebankan oleh badan usaha gas. Menurutnya, beban distribusi oleh badan usaha gas bisa menjadi ladang mencari keuntungan di tengah murahnya harga gas saat ini.
"Kami juga harap Pemerintah mau intervensi ke dalam proses distribusinya. Jadi peraturannya kena ke segala aspek baik hulu dan hilir," tegasnya.
Elisa mengatakan, saat ini harga gas yang dibeli pelaku usaha dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk sebesar US$9,1 per MMBTU yang terdiri dari rata-rata harga gas hulu sebesar US$7,56 per MMBTU ditambah biaya distribusi sebesar Rp700 per meter kubik.
(gen)