Jakarta, CNN Indonesia -- Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak, yang berlangsung tertutup dari hotel ke hotel antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berlangsung alot. Kendati demikian, pemerintah menargetkan payung hukum kebijakan amnesti pajak ini rampung pada 20 Juni 2016.
Hal itu disampaikan oleh Sarmuji, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golongan Karya kepada
CNNIndonesia.com di kantornya
, Kamis (9/6).
Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pengampunan Pajak itu mengatakan, sejauh ini pemerintah dan DPR baru menyepakati tujuh pasal dari total 27 pasal. Ia mengungkapkan, beberapa pasal yang masih menjadi perdebatan antara lain menyangkut penentuan tarif uang tebusan dan cakupan pajak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini masih ada hal-hal yang paling krusial, yakni tarif uang tebusan, terus cakupannya apakah PPh, PPN juga atau ada jenis pajak yang lain," ungkap Sarmuji.
Menurutnya, beberapa fraksi menginginkan cakupan tax amnesty hanya fokus pada Pajak Penghasilan (PPh). "Karena kalau PPh saja itu lebih mudah untuk dihitungnya dibandingkan tambahan dari pajak yang lain," jelas Sarmuji.
Dalam RUU Pengampunan Pajak, pemerintah mengusulkan tarif uang tebusan 2, 4, dan 6 persen untuk deklarasi pajak yang disesuaikan dengan tiga periode pelaporan. Sementara untuk deklarasi pajak yang disertasi dengan repatriasi ditawarkan tarif yang lebih rendah, yakni 1, 2, dan 3 persen tergantung masa pelaporannya.
Sementara beberapa fraksi di DPR, kata Sarmuji, cenderung mengajukan tarif uang tebusan yang lebih tinggi dari pemerintah.
"Golkar sendiri mengusulkan (tarif) 5 persen di tahap pertama dan 10 persen di tahap kedua, dengan ketentuan kita tidak membedakan antara repatriasi dan depatriasi. Karena sama saja, mereka tidak melaporkan (asetnya) ke SPT (Surat Pemberitahuan)," papar Sarmuji.
Sejauh ini, lanjut Sarmuji, perdebatan tarif uang tebusan dan cakupan pajaknya masih belum menemukan titik temu. Belum lagi, masih ada beberapa fraksi yang menginginkan tarif uang tebusan sama dengan tarif normal PPh yang tercantum dalam UU Perpajakan, yakni bisa mencapai 25 persen hingga 30 persen.
"Hal ini tentu akan menyulitkan karena memicu munculnya pihak-pihak yang tidak ingin mengikuti
tax amnesty," katanya.
Selain itu, Sarmuji juga memaparkan, jangka waktu
tax amnesty masih terus dikaji. Pemerintah menetapkan jangka waktu tax amnesty hingga 31 Desember atau enam bulan.Namun, sejumlah fraksi menuntut waktu yang lebih panjang karena tujuan dari obral amnesti pidana ini bukan hanya untuk menambal defisit APBN 2016, tetapi demi menggerakan perekonomian.
"Ya mudah-mudahan kita bisa kerja lebih cepat dan tercapai itu 20 Juni. Jadi awal Juli sudah bisa diterapkan. Mengingat saat ini Komisi XI tengah diberatkan dengan pembahasan lain, seperti asumsi makro APBNP dan lainnya," tutup Sarmuji.
Hal yang senada disampaikan Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno, yang menyatakan bahwa saat ini pembahasan
tax amnesty masih mengalami penundaan.
"
Progress-nya nanti ya karena masih di-
pending ini. Nanti minggu depan kita akan padatkan jadwal jadi enam hari dalam seminggu untuk bahas semua ini. Karena UU kan harus digodok sebaik-baiknya ya," tutur Hendrawan.
(ags/gen)