Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang ibu rumah tangga dan pedagang di pasar tradisional menggugat Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ke Mahkamah Konstitusi.
Adalah Dolly Hutari, ibu rumah tangga selaku konsumen komoditas pangan, serta Sutejo, pedagang komoditas pangan di Pasar Bambu Kuning, yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 4A ayat (2) huruf b UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM.
Pada pasal tersebut, ditetapkan 11 jenis pangan yang dibebaskan PPN karena masuk kategori komoditas yang "sangat dibutuhkan masyarakat". Komoditas pangan tersebut meliputi: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Ringkasan Permohonan Perkara Nomor 39/PUU-XIV/2016, Dolly dan Sutejo menganggap pasal tersebut diskriminatif. Pasalnya, mereka merasa mendapat perlakuan berbeda ketika akan mengakses komoditas pangan, selain 11 jenis kategori pangan yang dibebaskan PPN.
"Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena komoditas pangan selain 11 jenis komoditas pangan yang tidak dikenakan PPN menjadi lebih mahal akibat dikenainya PPN," demikian kutipan dari Ringkasan Permohonan Perkara yang diajukan Dolly dan Sutejo ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut mereka, pasal 4A ayat (2) huruf b melanggar Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, terkait hak untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sebab, selain 11 jenis pangan yang bebas PPN, harga komoditas pangan lainnya menjadi lebih mahal di pasaran sehingga terjadi penurunan kemampuan daya beli dan konsumsi atas komoditas tersebut.
Dolly dan Sutejo mengatakan, masih banyak bahan pangan lain yang belum masuk dalam barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN, seperti kacang-kacangan, singkong, kentang, terigu, talas, ubi, dan bumbu-bumbu dapur.
"Padahal tidak seluruh penduduk Indonesia makanan pokoknya nasi/beras. Kebijakan ini tentunya kontraproduktif dengan Program Ketahanan Pangan Lokal Non-Beras yang dicanangkan Pemerintah," tulis mereka tegas.
Selain itu, lanjut Dolly dan Sutejo, kebijakan PPN tersebut juga menimbulkan beberapa ekses negatif lain seperti maraknya penyelundupan komoditas pangan.
"Tidak semua penduduk Indonesia mampu membeli daging. Tetapi daging yang harganya mahal bisa disubstitusi dengan ikan dan kacang-kacangan yang seharusnya lebih terjangkau, tetapi malah dikenakan PPN," lanjut mereka.
Mereka menambahkan, negara dibebani kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan dan gizi yang terjangkau dan memadai, bukan malah dikenakan PPN. "Oleh karena itu, pengabaian terhadap pangan dan gizi dapat dianggap sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh negara," tuturnya.
Pada prinsipnya, Dolly dan Sutejo tidak sepenuhnya anti PPN. Menurut mereka, hanya komoditas pangan yang masih berwujud asli dan belum melalui proses industri yang selayaknya tidak dikenai PPN. Sedangkan untuk komoditas pangan yang telah melalui proses industri dan telah berubah bentuk pasca proses pengolahan, layak dibebankan PPN.
Dalam gugatannya, Dolly dan Sutejo memohon agar frasa pada pasal 4A ayat (2) huruf b direvisi dan cakupannya diperluas, tak hanya sebatas 11 jenis "Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat".
Mereka mengusulkan frasa direvisi menjadi: “Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak adalah barang pangan yang berasal dari hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan dan air yang diambil langsung dari sumbernya atau diolah sebatas kegiatan pasca panen dan bukan merupakan hasil dari proses pengolahan (industri) sebagaimana dimaksud dalam pengertian “menghasilkan” dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang (PPN) ini, tidak dikenai PPN”
(ags)